Kepulan asap rokok menguar di udara ruangan yang jendelanya sengaja dibuka, matahari senja tampak begitu jelas di ujung barat cakrawala menjadi latar pemandangan seorang pemuda berstatus CEO perusahaan.
Kepalanya sengaja ia sandarkan pada kursi pesakitan yang telah menemaninya hampir enam tahun, tepatnya sejak ia lulus dari perguruan tinggi. Beban begitu menumpuk, meski perusahaan ini hanya cabang, tapi cukup besar untuk menyita semua waktu dan tenaga.
Nuttarat Tangwai, papan nama yang jelas tertera tepat di depan meja kerja tampak berkilau terpantul sinar matahari senja. Bukan Noeul tidak bersyukur atas berkat Tuhan padanya, ia terlahir dengan sendok emas, tak pernah ada halangan tentang finansial. Namun sebagai anak penerus perusahaan besar, banyak beban yang ia pikul bahkan sejak masih sangat kecil. sebagai penerus satu-satunya dan harus serba ia kuasai agar nanti ketika waktunya tiba, Noeul telah siap untuk mewarisi segalanya.
Seperti saat ini, sudah enam tahun sejak ia lulus, pada awalnya sang ayah langsung ingin menempatkan Noeul di posisi tertinggi perusahaan utama. Tapi Noeul menolak, ia ingin memulai dari bawah, jadilah ia disini, kantor cabang di pinggiran ibu kota.
Tapi bukan itu sebenarnya yang menjadi beban pikiran Noeul saat ini. Tapi tentang hubungannya dengan sang kekasih, Boss yang kini telah menjadi seorang penyanyi solo berbakat. Sudah enam tahun, tapi ayahnya masih belum merestui mereka. Dulu, semua itu tentang kasta, lalu Boss berjanji akan merangkak naik demi Noeul dan pria itu membuktikannya sekarang. Namun meski sudah menjadi orang yang sukses dan terkenal, ayah Noeul masih menutup rapat hatinya sampai sekarang, entah sampai kapan Boss bisa diterima dalam keluarga Tangwai.
"Melamun seperti itu, bisa ku tebak, pasti sedang memikirkanku?"
Suara yang familiar, Noeul tidak perlu repot-repot menoleh ke arah pintu ruangan miliknya untuk melihat siapa yang dengan lancang menerobos masuk ruang CEO. Ini memang sudah jam pulang kerja, tentu semua karyawan sudah pulang, hanya akan menyisakan dirinya dan sang sekertaris pribadi. Omong-omong, kemana pria itu? Noeul tidak melihatnya sejak satu jam yang lalu.
"Apa aku benar, mr. CEO?"
Tatapan mereka bertemu ketika pria yang masuk secara lancang itu memutar kursi kebesaran Noeul dan mencondongkan tubuhnya agar bisa menatap lebih dekat. Kedua tangannya ia jadikan tumpuan pada pegangan kursi.
"Sudah berapa lama kita saling mengenal? Tentu kau tau apapun tentangku kan, Boss?" Pria yang mewarnai rambutnya dengan warna deep sky blue itu balas menatap dengan menyunggingkan senyum jenaka. Ia tau beban apa yang berada di pundak Boss, setidaknya Noeul tidak ingin merusak pertemuan singkat mereka dengan ekspresi penuh tekanan dan kekhawatiran tentang apapun. Jadi Noeul ingin Boss melihatnya tanpa beban yang berarti, menjadi Noeul yang selalu ceria dan tersenyum untuknya.
"Sudah kukatakan untuk tidak memikirkan apapun kan? Aku akan terus maju meski harus merangkak." Boss menatap langsung pada manik kembar Noeul untuk meyakinkan pria itu tentang apapun.
Tatapan keduanya terkunci satu sama lain, dan perlahan keduanya tanpa ragu mulai mendekatkan kepala masing-masing. Nyaris, hampir saja bibir mereka menyatu kalau tidak karena suara dobrakan pintu serta suara tinggi seseorang membuyarkan suasana intim yang baru saja mereka bangun.
"Nuttarat Tangwai! Jangan suka mengubah jadwal seenaknya! Kau pikir aku menyusun ini dengan mudah?"
Keduanya menoleh ke asal suara, sekertaris pribadi Noeul berdiri sambil berkacak pinggang menatap nyalang sang atasan yang sedang bersama kekasihnya.
"Hai Nunew, lama tidak berjumpa ya." Ucap Boss sambil menjauhkan tubuh dan berjalan ke sofa panjang dengan santai, ia tidak ingin mencampuri urusan keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend With Benefit [END ✓]
FanfictionNunew si anak kota yang ikut sang ibu berkunjung ke desa tempat neneknya tinggal untuk liburan semester, sama sekali tidak bisa ber-adaptasi dengan lingkungan. Dalam rundung ke jenuhan ia bertemu dengan seorang laki-laki dengan binar di matanya. "La...