32: Secukupnya

2.2K 174 28
                                    

Tekan vote sebelum baca☆☆☆

Happy Reading...
Begitu sampai di depan gerbang rumah Panji, Angga dikejutkan dengan tempelan kertas yang menyatakan bahwa rumah tersebut dijual.

Dengan langkah tak percaya, Angga mendekati tulisan kertas itu. Ia menggeleng kuat, mengapa mereka pergi dari rumah ini? Mengapa mereka meninggalkan Angga seorang diri, apa alasannya?

Angga bertanya-tanya di dalam hati.

Tidak puas hanya melihat gerbang yang di gembok dari luar, beserta kertas yang menyatakan rumah tersebut dijual. Angga lantas memukul-mukul gerbang menimbulkan suara nyaring.

"BUKA GERBANG NYA!" teriak Angga brutal.

"GUA TAU MASIH ADA ORANG DI DALAM!"

"JANGAN BAWA IBU SAYA PERGI, SIALAN! AKU TAU KALIAN MENCOBA BOHONGIN AKU KAN?!" Angga semakin gencar menggedor-nggedor pintu pagar.

"Percuma Mas teriak-teriak."

Angga menoleh mendengar suara yang menyapanya. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan, ia mendekat ke arah bapak-bapak tersebut.

"Kenapa Pak? Saya yakin Ibu saya masih di dalam." balas Angga.

"Rumah ini sudah kosong sejak tadi pagi. Pak Panji, Bu Lesti, dan anak kecil mereka beserta asisten rumah tangganya tadi pagi sekitar jam tujuh, membawa koper besar di masukkan ke dalam mobil. Saya ingin menyapa, tapi mereka sudah tancap gas." jelas pria paruh baya yang tak lain ialah tetangga rumah.

Jantung Angga mencelos rasanya, punggung rapuhnya langsung menyandar pada gerbang besi. Ia tidak bisa berkata-kata lagi, ini semua menyakitkan bagi Angga.

"Jadi percuma Mas teriak-teriak. Rumah ini udah kosong, sampai suara Mas habis sekali pun nggak akan ada yang nyaut. Anak saya lagi sakit di rumah, jadi tolong, jangan gedor-gedor gerbang lagi. Berisik." ucap beliau terdengar ketus.

Angga tidak menggubris perkataan bapak itu, punggung rapuhnya semakin merosot ke bawah. Angga memeluk kedua lututnya, pundak laki-laki itu bergetar menahan isak tangis.

Ibu adalah sumber semangat Angga selama ini. Ia sangat menyayangi Ibunya, melebihi rasa sayangnya pada dirinya sendiri. Biar pun ibu sering memarahinya, membagi kasih sayang, bahkan belakangan ini mulai bermain tangan. Tidak mengurangi sedikit pun rasa cintanya terhadap sang ibu.

"IBUUUK!" teriak Angga kalut. Tangan nya memukul pintu gerbang dengan pelan. Air mata Angga jatuh, sehancur-hancurnya Angga, lelaki itu jarang sekali menangis. Adakah yang membuat air matanya tumpah jika bukan soal ibu?

Bahkan Angga tidak pernah menangisi penyakitnya.

"Ibu akan temenin kamu, kamu nggak sendirian disana. Oke? Semangat!"

"Ssstt... jangan bicara begitu. Sudah menjadi tanggung jawab kita buat ngerawat kamu."

"Yaudah kalau begitu, saya sendiri yang akan mencari uang untuk kesembuhan Angga."

"Ada Ibu, ada Ibu yang akan selalu di sisi kamu. Kamu jangan nyerah, lawan ini semua, demi Ibu."

Ucapan ibunya terngiang-ngiang di kepala Angga. Waktu itu Angga berpikir, ibu akan selalu mendampingi langkahnya, selalu berada di sisinya, selalu menjadi penyemangat kala frustasi menerjang dirinya. Namun ternyata salah, semuanya hanya janji palsu semata.

"Omong kosong." racau Angga mengusap air matanya kasar.

Ia meraba saku celana training, mencari keberadaan benda pipih.

Angga Sayang Ibu✔️[Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang