50: Pulang Selamanya (End)

5.2K 172 41
                                    

Happy Reading...
Sebelum kain kafan ditutup pada bagian wajah Angga, para sahabat bergantian masuk melihat rupa laki-laki itu untuk yang terakhir kalinya.

Jika sebelum meninggal Angga terlihat pucat bak tak punya darah, justru sekarang wajah pucatnya tidak begitu kentara. Bibirnya pun merah seperti penampilan Angga di waktu tubuhnya sedang sehat.

"Mas ... aku pikir kamu nggak serius sama ucapan kamu kemarin. Pasti tubuh kamu kemarin sakit banget ya? Tapi sekarang kamu udah nggak ngerasain sakit lagi kan?" Putri meremas tisue di tangannya, ia tak kuasa melihat tubuh Angga terbujur kaku tak bernyawa.

"Aku mungkin nggak bisa ringanin sakit kamu selama ini, tapi aku janji. Aku akan selalu nitipin nama kamu sama Allah, supaya kamu di sana bahagia. Semoga kamu dipertemukan dengan keluarga Bunda ya ... jadi keluarga harmonis di sana, sama Bunda, sama Nayla, sama Ayahnya Nayla ..." Putri mengusap kepala Angga yang sudah terlapisi dengan kain mori.

Putri menarik napas, menoleh sekali lagi sebelum kakinya melangkah keluar dari ruangan.

Abi menangis tergugu memeluk tubuh Angga, padahal baru kemarin ia berbincang dengan Angga. Masih melihat senyumnya walaupun rona wajah Angga sudah tak seperti biasanya. Berkali-kali lebih pucat.

"Ngga ..." Abi mengguncang kedua tangan Angga yang sudah ditali di atas perut.

"Kenapa lo pergi secepet ini? Kenapa lo ninggalin kita Ngga? Kenapa hanya demam bisa membuat lo meninggal?" Abi meraung seolah tidak terima dengan kepergian Angga.

Samuel mendekap lelaki itu, mengusap punggung Abi sambil menyuruhnya ikhlas.

"Apa lo nggak bertanya-tanya?! Kenapa Angga, sahabat kita bisa meninggal hanya gara-gara demam? Ini pasti nggak beres Sam!" Abi menepis tangan Samuel.

"Sssst ... jangan teriak-teriak. Nggak enak kalau pelayat pada ngomongin." Samuel menenangkan Abi.

"Lo kenapa enak banget ngomongnya?! Lo nggak sedih Angga meninggal?!"

Samuel mengatupkan bibir. Bukannya dia tidak bersedih tetapi mengingat kondisi Angga ketika meminta bertemu dengan Bapak kemarin membuat hati Samuel berdesir takut akan kehilangan Angga. Dua bulan terakhir dia juga menemani pengobatan Angga berharap kesembuhan segera menjemput sahabatnya itu.

"Lo harus kuat." Samuel mengurut tengkuk Angga dengan gerakan memutar.

"Pasti." jawab Angga terengah-engah mengatur nafas.

Angga tabah ketika divonis komplikasi, dia berharap ada keajabian setelah berjuang mati-matian untuk sembuh.

"Obat gue ketinggalan di kelas, gue ambil dulu."

"Tapi kita udah sampai di gedung dua? Emang nggak bisa kalau telat sebentar?" tanya Samuel.

"Em, nggak papa sih kalau cuman sejam doang. Tapi lebih baik gue minum tepat waktu biar cepet sembuh, ya kan?" Angga berdiri berniat kembali ke kelas.

Samuel tertegun, bukankah sel kanker Angga semakin menyebar? Namun laki-laki itu mempunyai harapan sembuh yang begitu besar. Samuel menarik bibirnya tersenyum, menggapai pundak Angga kemudian merangkulnya. Apapun yang terjadi, ia tak boleh mematahkan keyakinan Angga, ia juga harus memiliki pemikiran positif seperti Angga.

"Ayo gue anter!"

Angga pingsan saat hendak melakukan kemoterapi, lagi-lagi kondisinya menurun. Untung ada Samuel yang menemaninya.

"Untung ada lo Sam, kalau nggak mungkin gue malah jadi tontonan."

"Lagian lo ambruk nggak bilang-bilang. Lagi sibuk parkirin motor lo nya malah tiduran di aspal." sahut Samuel bercanda.

Angga Sayang Ibu✔️[Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang