Dia Melompat

75 5 0
                                    

Sudah berapa lama sejak pertemuan pertamaku dengan Soni? Aku tidak mengingat tanggalnya dengan jelas tapi aku yakin saat itu malam hari, malam bulan purnama. Malam itu mungkin malam ketiga atau keempat sejak kepindahanku ke rumah susun lima lantai ini dan yang kulakukan malam itu adalah meratap, menatap bulan tanpa benar-benar memperhatikannya.

Dengan sengaja aku membiarkan seluruh ruangan gelap gulita sementara aku duduk di balkon, menatap cahaya bulan seolah mencari inspirasi di sana. Saat itu udara malam amatlah dingin, tapi aku membiarkan tubuhku menggigil hanya dengan berlapiskan pakaian tipis murah yang dibeli saat diskon.

Dan kemudian, aku pun merenung. Diam, begitu tenang sekaligus begitu sedih sampai-sampai air mataku keluar tanpa sadar. Kuakui saat itu adalah saat-saat terburuk dalam hidupku yang mana seminggu sebelumnya ibuku, satu-satunya orangtuaku yang tersisa, mengucapkan selamat tinggal pada dunia.

Rasa sakit itu tak bisa digambarkan, meski tak terlihat namun rasa sakitnya melebihi segala siksaan fisik dan tanpa berpikir panjang aku memutuskan pindah dari rumah, kabur dari semua kenangan yang akan membuat rasa sakit itu semakin tak tertahankan.

Meski demikian kenangan itu terus mengejar ke mana pun aku pergi. Tak peduli apa yang aku lakukan aku pasti akan segera teringat akan senyum ibuku. Seluruh beban emosional itu membuatku tak bisa tertidur hingga aku terpaksa duduk diam menatap bulan, membiarkan semua kenangan itu menguasaiku.

Dan disitulah, aku merasa mendengar suara dari Lorelei, sang perayu dari sungai Rhine. Suara nyanyian itu tidaklah merdu, malah terdengar sumbang, tapi yang membuatku penasaran adalah siapa orang yang bernyanyi pada pukul 3 pagi?

Suaranya berasal dari luar, tepatnya dari balkon kamar sebelah. Aku mencondongkan tubuhku keluar untuk memeriksa apa yang ada di sana dan apa yang kulihat adalah sosok seorang wanita yang tengah berdiri di atas pagar pembatas, siap untuk melompat dari lantai lima tanpa kepedulian atas nyawanya sendiri.

Aku benar-benar tak bisa berkata-kata. Yang aku lakukan hanya berdiri kaku, mencoba merekam seluruh lukisan tersebut dengan kedua mataku dan segera saja kumpulan tema yang cocok untuk lukisan itu terbentuk dalam kepalaku.

Langit yang gelap dengan cahaya putih kebiruan. Wanita cantik yang ingin bertemu dengan kematian. Keluh kesah hidup dituangkan dalam nyanyian. Aku menyusun tema-tema itu secara spontan sementara mataku mencoba menangkap seluruh detail kecil demi menyempurnakan lukisan tersebut.

Rambutnya panjang bergelombang, indah tapi tidak terurus. Pakaiannya kusam dan berkerut dibanyak tempat seolah lama tidak dicuci. Dan dibalik pakaian yang serba kebesaran tersebut bisa kulihat tubuh kurus yang tidak terawat. Kakinya tampak gemetar mencoba mempertahankan keseimbangan di atas palang besi dan getaran itu ikut menggetarkan suaranya.

Namun dia terus saja bernyanyi.

Apakah dia akan melompat setelah lagunya selesai? Tidak … jangan! Aku belum puas memandangi keindahan itu. Jika aku bisa menghentikan waktu maka aku rela hidup di waktu yang terhenti selamanya agar bisa terus menatap wajah wanita itu.

Namun akhirnya wanita itu mencapai akhir dari lagu. Dia berhenti bersuara dan hanya berdiri dengan tangan terentang menatap bulan sehingga aku bisa melihat sisi wajahnya dengan jelas. Dia cantik, alisnya panjang, hidungnya mancung dan matanya memantulkan sinar bulan hingga terlihat seperti bola kristal yang berkilauan.

Aku menggeser tubuhku untuk melihat wajahnya lebih jelas dan di saat itulah aku menyadari sebutir air mata turun membasahi pipinya. Mengapa dia menangis? Apakah dia sedih karena harus berpisah dengan dunia? Air matanya membuatku tertegun sesaat dan di saat berikutnya kedua mataku melebar penuh keterkejutan, ada cahaya yang mengelilingi tubuhnya.

Cahaya itu tipis layaknya selubung yang membungkus tubuhnya. Selubung itu bergetar mengikuti tarikan nafasnya yang semakin lama semakin berat. Ahh, ternyata dia juga takut akan kematian. Jika sudah seperti itu apa dia akan tetap melompat?

Aku memutuskan tetap diam, menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Satu menit … dua menit … sepuluh menit … perlahan dia pun turun, kembali mengijakkan kakinya ke lantai. Entah mengapa aku sedikit merasa kecewa. Sejujurnya, aku yakin dia pasti akan memasang ekspresi yang begitu memukau jika saja dia melompat terjun ke bawah.

Dan seolah sudah kembali pada kesadarannya, dia menoleh menatapku yang sedari tadi memandanginya. Matanya yang bulat melebar dan bibirnya gemetar seolah mencoba berkata sesuatu, tapi akhirnya dia kembali masuk ke ruangannya meninggalkanku sendirian dalam balutan hawa dingin yang semakin menusuk.

Ditinggal begitu saja membuatku kembali mengarahkan pandangan ke bulan. Dari yang aku tahu ada banyak sekali seniman yang menggambarkan bulan sebagai eksistensi keindahan yang tiada tara, tapi kenapa sekarang aku merasa bulan itu tampak biasa saja? Benar juga, setelah apa yang tadi aku lihat bahkan bulan pun hanya terasa seperti pelengkap, tokoh utama dari lukisan itu kini tengah bersembunyi di kamar sebelah.

Aku ingin melihatnya lagi. Aku ingin menjumpainya secara langsung dan melihat dirinya dari dekat. Mungkin aku bisa pura-pura berkunjung untuk sekedar bertukar sapa sebagai tetangga. Ya, itu alasan yang bagus.

Aku pun bergegas menuju pintu keluar. Namun, tepat saat aku membuka pintu, dia sudah berdiri di sana.

Pencahayaan lampu koridor yang redup pun tak bisa menyembunyikan kulitnya yang pucat. Sekarang setelah kami berdiri di ketinggian yang sama ternyata dia pendek, masih terlihat begitu muda.

"Kenapa kau tak menghentikanku?"

Pertanyaan itu menjadi awal dari hubungan kami. Aku tergagap untuk sesaat, masih terpana dengan apa yang tadi aku lihat, dan setelah menemukan kembali suaraku yang bisa keluar dari mulut ini hanyalah, "Karena kau terlihat sangat indah."

Ohh, dia terkejut. Keterkejutan itu terpancar di matanya dan perlahan digantikan oleh kesedihan yang amat kentara. Dan tanpa aba-aba dia langsung maju dan medekap tubuhku erat, suara tangisannya memecah keheningan malam.

"Tolong… tolong aku."

Oohh, itu dia. Ada sesuatu di mata itu, sesuatu yang selama ini tak pernah aku lihat, sesuatu yang selama ini tak pernah dunia lihat, dan aku menginginkannya.
Itu adalah awal dari obsesi kotor yang menjadi warna tambahan dalam hidupku. Kutatap matanya lekat-lekat dan memasang senyum lebar. Di sana ada sebuah keindahan yang jauh melampaui deskripsi seni mana pun dan yang aku inginkan hanya satu, melukisnya.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang