Tulisan Soni

13 4 0
                                    

Hal itu terjadi di kala aku masih menikmati sarapan buburku. Bubur putih simple nan lezat yang dicampur dengan ginseng sachet itu cukup efektif mengeluarkan tenaga dari dalam tubuhku dan tenaga itu membuatku langsung merasa panas di pagi hari. Soni, yang sudah selesai makan, meletakkan laptopnya diatas meja dan mengetik dengan cepat.

Suara kipas yang dihasilkan oleh laptopnya begitu berisik dan suara ketikannya tak kalah berisiknya. Soni melirikku seolah meminta ijin atas keributan kecil itu dan aku hanya mengangguk, penasaran dengan apa yang dia lakukan.

"Aku sedang membuat sinopsis," jawab Soni tanpa ditanya. "Semalam sudah kubilang kan? Aku akan mulai menulis novel online."

Aku ingat dulu dia bilang dia pernah menulis novel jadi kurasa dia bukan sama sekali amatir di bidang itu. Aku bisa melihat dia sedikit gembira dengan kegiatan kecilnya, bagus jika dia punya kegiatan lain selain tugas rumah tangga.
Meski Soni bilang dia sudah menyerah akan mimpinya, ekspresinya tidak bisa berbohong.

Setelah sarapan aku segera berangkat kerja dan memulai rutinitasku seperti biasa. Dengan banyaknya pekerjaan yang kutinggalkan kemarin membuatku merasa dikejar-kejar oleh waktu, tapi saat tiba waktunya untuk makan siang aku menyempatkan diri untuk mengikuti Ryan ke warung padang terdekat.

"Ohho, aku rindu tempat ini," ucap Ryan yang secara tidak etis mengendus aroma rempah-rempah di udara. "Waktu kau cuti aku nggak ada teman buat kemari. Kenapa sih orang-orang di kantor hobi banget makan di kafe?"

"Buat gaya-gayaan mungkin," jawabku yang juga sudah lama tidak kemari, "kan banyak yang bilang, kalau mau enak makan di warung padang, kalau mau selfie makan di kafe."

Nasi padang memang sesuatu yang tak bisa ditemukan di kafe. Nasi padang itu berat, cara makannya harus pakai tangan dan aromanya akan tertinggal untuk waktu yang lama, bukan makanan yang cocok untuk orang yang begitu menjaga penampilan, tapi bagi aku dan Ryan yang masa bodoh dengan pendapat orang lain nasi padang adalah berkah yang diturunkan ke bumi ini bagi perut kami yang lapar.

Dan tiba-tiba aku teringat pada Soni lagi. Aku sendiri heran mengapa aku begitu sering teringat padanya, tapi kurasa itu adalah hal yang wajar. Saat ini dia mungkin sedang makan siang, memakan kembali bubur sisa sarapan. Aku ingin menghubunginya untuk bertanya apakah dia suka nasi padang atau tidak, tapi ternyata aku tak punya nomor kontaknya.

"Ngomong-ngomong Yan, bisnismu apa kabar?" tanyaku berbisik. Ryan yang tengah sibuk mengoyak ayamnya menyadari makna dibalik bisikanku dan meletakkan kembali ayamnya di piring.

"Biasa aja. Kenapa memangnya?"

"Bukan apa-apa sih. Aku cuma penasaran, nerbitin buku memang susah ya?"

Ryan memiliki bisnis percetakan yang mana dia mencetak beragam macam hal sesuai pesanan. Skripsi, kartu nama dan segala macam buku. Namun dibalik bisnisnya itu dia melakukan satu bisnis ilegal yakni menjadi produsen buku bajakan. Dia membeli satu buku, menyalin dan memperbanyaknya sebelum dijual dengan harga lebih murah. Dia mengaku padaku bahwa alasannya melakukan bisnis itu adalah sebagai bentuk pembalasan dendam pada suatu penerbit yang selalu menolak karyanya.

"Susah," jawab Ryan tanpa ragu. "Jaman sekarang semua serba susah, apalagi kalau kau nggak punya nama. Sebagus apa pun karyamu kalau nggak laku maka penerbit nggak akan mau nerbitin. Banyak yang bilang kalau penulis pemula lebih baik mulai dari situs-situs online tapi karyamu situs-situs itu juga nggak bakalan laku kalau kau nggak punya banyak kenalan untuk share di sosmed. Singkatnya, semua cuma masalah view. Minimal seratus ribu follower instagram. Kalau nggak punya maka lupakan saja. Dunia kepenulisan itu bisnis Bro, nggak ada ruang buat yang nggak punya koneksi."

"Sabar Yan, sabar."

Tanpa sadar Ryan sudah mengoyak daging ayamnya dengan cara yang amat tidak pantas. Karena merasakan aura berbahaya dari topik ini maka aku memutuskan untuk tidak menyinggungnya lagi.

Namun aku terus memikirkannya di dalam kepalaku. Semakin aku memikirkannya semakin pula aku merasa kasihan pada Soni dan itu membuat nafsu makanku hilang. Aku ingin melakukan sesuatu untuknya, tapi aku sendiri bukanlah siapa-siapa. Aku tak punya banyak teman, teman-temanku semasa sekolah juga sudah banyak yang hilang kontak.

"Ngomong-ngomong tadi kau lihat si Amir nggak?" tanya Ryan tiba-tiba, "itu dia ngobrol sama siapa? Petugas PLN?"

"Aku juga nggak kenal. Mungkin petugas PLN, mungkin juga rekan bisnis baru."

Sekitar satu jam sebelumnya kami melihat beberapa orang berpakaian layaknya teknisi datang ke kantor untuk menemui Boss. Kami tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi mereka mengangkut beberapa alat berat masuk dan setelahnya Boss memberitakan pada seluruh pegawai untuk pulang sebelum jam 3 sore. Apapun maksud di balik ucapan itu, kebanyakan pegawai merasa bersyukur, mungkin ini akan menjadi pulang cepat terakhir dalam 5 tahun ke depan.

Aku sendiri ikut merasa senang. Pulang lebih cepat artinya lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama Soni dan itu saja sudah cukup untuk mengembalikan selera makanku. Benar juga, aku harus belikan sebungkus nasi padang agar dia bisa menikmatinya untuk makan malam.

Namun semua berubah saat nada dering notifikasi whatsapp terdengar dari kantong celanaku. Awalnya aku mengira itu Cecile yang menyuruhku untuk segera kembali dan bekerja tapi ternyata itu berasal dari seseorang yang sepuluh—seratus kali lebih buruk. Ya Tuhan, mengapa berita baik selalu saja dibalas dengan berita buruk?

Bagaimana ya? Suara licik dalam kepalaku menyuruhku untuk mengabaikan pesan ini, tapi jika aku melakukannya maka akan menimbulkan efek bola salju yang mengarah pada longsor dan mengakibatkan korban jiwa. Tentunya yang kumaksud korban jiwa disini adalah diriku sendiri. Mau tak mau aku pun membalas pesan tersebut dan berjanji akan menemuinya sepulang kerja.

Tampaknya hal yang disebut pulang cepat memang cuma mitos.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang