Ibuku pernah bercerita tentang kelahiranku. Saat itu ibuku adalah orang yang tidak menyukai bau rumah sakit dan karenanya beliau tak ingin melahirkan di rumah sakit. Akhirnya mereka pun mencari bidan kandungan terdekat yang membuka praktek dan di sanalah rencananya aku akan dilahirkan.
Namun rupanya Tuhan berkata lain. Saat ibuku merasa akan melahirkan, hujan deras tengah melanda seluruh kota dan jalan menuju tempat praktik lumpuh total. Ayahku yang mengemudikan mobil terjebak di tengah kemacetan dan tanpa punya pilihan lain beliau mengambil jalan lain hingga akhirnya tiba di rumah sakit. Di sana aku pun dilahirkan dengan selamat.
Pengalaman itu membuat ibuku banyak mengeluh dan entah mengapa itu membuatku merasa tak nyaman setiap kali berada di rumah sakit. Sebenarnya kenapa bisa begitu? Aroma alkohol dan obat-obatan? Para dokter dengan stetoskopnya? Para suster dengan suntiknya? Atau bill pembayarannya yang super mencekik?
Namun untuk hari ini jawabannya bukan semua itu. Sore ini aku datang (dipaksa) ke rumah sakit untuk menemui seseorang yang jujur saja aku tak mengerti mengapa harus kutemui. Sejak pertama bertemu dengannya aku tak pernah punya kesan yang bagus dan mulai sekarang pertemuan ini akan menjadi rutinitas.
Pelan-pelan aku melangkahkan kaki memasuki ruang konseling. Di sana sosok wanita 30-an tahun sudah menunggu dengan clipboard mini di tangannya. Dia memiliki figur yang menawan dengan rambut panjang yang disanggul layaknya bagsawan Jawa. Gaya rambut yang tidak biasa jika aku boleh bilang, tapi itu cocok sekali dengannya. Dia cantik, itu fakta yang tidak terbantahkan, tapi tatapan matanya sungguh sesuatu.
Di ruangan itu ada banyak barang yang tidak kumengerti kegunaannya. Dindingnya juga ditutupi dengan hiasan berpola aneh dan di sudut ruangan terdapat pemutar piringan kuno yang tengah menyala, memainkan lagu Bohemian Rhapsody dengan merdunya. Bohemian Rhapsody sudah lama jadi lagu kesukaanku dan mungkin itulah satu-satunya kesamaan yang kami berdua punya.
"Oh? Kau datang Shade? Cukup mengejutkan."
Dia menceklis sesuatu di clipboardnya sembari memberi isyarat agar aku duduk di kursi yang sudah disediakan. Di atas meja aku melihat sebuah papan nama kecil bertuliskan Dr. Rui SpKJ. SpKJ adalah gelar khusus spesialis kejiwaan.
"Jadi Shade, apa ada perkembangan yang perlu aku ketahui?" tanya Rui dengan suaranya yang merdu.
"Tidak ada. Sebenarnya saya bahkan tak mengerti kenapa Anda memanggil saya kemari. Saya sama sekali tak punya masalah."
"Anda? Saya? Sejak kapan kau jadi begitu sopan? Ini bukan sidang skripsi, bicara saja yang santai."
Aku bahkan tak tahu seperti apa rasanya sidang skripsi tapi aku akan mencoba bicara santai.
"Aku sama sekali tak punya masalah. Kalau pun ada itu bukan masalah kejiwaan."
"Oh ya, kau dan semua pasienku mengatakan hal yang sama. Katakanlah apa saja, kita punya dua jam untuk mengobrol."
Aku benar-benar tak ingin mengobrol dengannya selama dua jam. Meski sesi konseling ini gratis tapi datang kemari hanya membuang-buang waktu. Terlebih lagi aku malah dianggap memiliki gangguan jiwa. Sumpah, tak ada yang salah dalam diriku.
"Kudengar kau pindah dari rumah dan hidup sendiri," ucap Rui, lebih seperti mengutarakan fakta dibanding bertanya. "Itu artinya rumah kalian sekarang kosong. Apa kau merasa bisa gila jika terus berada di rumah itu?"
"Yah … ada benarnya. Maksudku, rumah itu penuh kenangan jadi aku tak akan bisa move on jika terus teringat Ibu."
"Singkatnya, kau melarikan diri. Itu bukan tindakan yang seratus persen benar tapi mengingat umurmu maka pilihan itu sudah tepat, lingkungan baru akan membantu pertumbuhanmu. Jadi, ada sesuatu yang menarik di sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...