"Hei Soni, bagaimana kemajuan novelmu?"
Hari masih pagi, Soni tengah memasak sarapan dan nyaris gagal membalik telurnya karna kaget dengan pertanyaanku.
"Itu… emm, aku masih malu mengunggahnya jadi aku masih menabung bab sekarang."
"Langsung unggah saja. kalau masalahnya malu maka sampai kapan pun tak akan ada perkembangan."
Soni hanya mengangguk-ngangguk sembari menyusun sarapan ke atas meja. Tampaknya butuh usaha ekstra untuk meyakinkannya dalam hal ini.
"Aku ingin membaca tulisanmu, Soni."
"Ja-jangan, itu memalukan."
"Bukannya kau kuijinkan melihat lukisanku?"
"Lukisanmu kan bagus. Tulisanku… parah."
"Tidak mungkin separah itu. Kalau kau tak pernah menunjukkannya pada orang lain tulisanmu akan parah selamanya. Ayolah, aku penasaran."
Dengan wajah begitu merah Soni mengangguk. Dia membuka sebuah file di ponselnya dan menyerahkannya padaku, Soni pun menunggu evaluasi.
Tulisannya penuh paragraf padat jadi aku hanya membacanya sekilas, lalu terkejut. Tak kusangka Soni menulis cerita horor."Aku tak lihat ada masalah. Kenapa kau harus malu?"
"Sungguh?"
"Iya, nggak usah tunggu-tunggu lagi. semakin lama kau menunda semakin cepat Metaverse mengambil alih dunia."
Kira-kira apakah dunia tulis-menulis masih akan punya peminat setelah Metaverse bisa diakses secara publik? Kurasa tidak, tapi aku lebih memilih makan pare mentah-mentah daripada memberitahu Soni hal tersebut.
"Umm… di sini dibilang aku butuh sinopsis dan juga cover. Cover…."
"Gampang, nanti aku buatkan."
Kenyataannya ternyata tidak gampang sama sekali. Aku pernah beberapa kali membuat desain cover untuk buku bajakan Ryan tapi saat itu aku hanya mencontoh yang sudah ada. Jika membuat dari nol aku benar-benar tak tahu harus mulai dari mana.
Soni sudah memberikan garis besar ceritanya, tetapi hingga jam istirahat di kantor pun aku belum tahu apa yang harus aku buat. Ini sama sekali berbeda dari mendesain sebuah karakter. Atau… apakah aku yang terlalu serius memikirkannya?
"Kau kenapa, Muka Zombie? Mana desain yang kuminta revisi semalam?"
Aroma asam menyengat sudah mencapai hidungku sebelum suaranya terdengar. Sumpah, anak ini mandi berapa tahun sekali sih?
"Sudah kukirim ke e-mail mu. Cek aja."
Karna tak ada kursi yang kosong Viktor pun duduk di lantai meski aku tak mengerti mengapa dia harus duduk untuk mengecek itu. Aku mencoba mengabaikannya dan kembali memikirkan desain cover. Kurasa untuk sebuah sampul buku sesuatu yang mencolok dan indah akan lebih baik dibanding gambar penuh makna. Masalahnya, bagaimana cara membuat lukisan horor terlihat indah? Cerita genre horor itu harus mengerikan.
"Aku masih kurang setuju dengan desain Beelzebub," celetuk Viktor tiba-tiba dan membuyarkan konsentrasiku. "Aku tahu dia memang lalat, tapi kenapa dia harus menjijikkan?"
"Lalat itu hewan yang kotor jadi wajar jika dia menjijikkan."
"Yes yes. But, karakter tipe begini nggak akan bisa populer. Gimana kalau tambahkan semacam efek spesial atau aksesoris. Dia ini raja iblis jadi sesuatu yang hitam-hitam pasti cocok."
"Kenapa sih kau hobi banget nambah kerjaanku?"
"Kau ini goblok ya? Kalau game pertamanya nggak laku perusahaan ini pasti bangkrut. Pasti! Bangkrut!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...