Kebetulan demi kebetulan

5 2 0
                                    

"… Sampai saat ini polisi masih belum memberikan keterangan lengkap dan pihak keluarga korban menolak berkomentar. Saya Sonia, melaporkan."

Aku bisa merasakan napas yang mengendap dalam paru-paruku seolah ditarik keluar saat kamera dimatikan. Tak peduli sudah berapa kali membawakan berita dari tempat kejadian, sensasi ini tetap tak pernah terasa biasa. Perhatian publik, ketakutan salah bicara, hingga hawa panas yang menyebalkan.

"Kerja bagus."

Staf bagian perlengkapan, Melinda, memberiku sebotol air dingin yang langsung kuteguk habis dalam satu napas. Segar sekali rasanya, air dingin memang obat terbaik untuk cuaca panas dan kerja keras.

"Fwaaahh! Segarnya…."

"Caramu minum masih tomboy seperti biasa," celetuk Melinda.

"Terkadang menjadi pria lebih menyenangkan dibanding wanita."

"Tapi kau wanita, Sonia. Apa suamimu suka jika kau bertingkah seperti pria?"

"Jangan khawatir, di rumah aku bertingkah seperti istri super penyayang."

Mengapa orang-orang begitu peduli tentang perbedaan sikap pria dan wanita? Aku, sebagai manusia modern, berpendapat bahwa semua orang seharusnya bebas melakukan apa yang mereka mau. Persetan norma sosial, menuruti norma sosial tak akan memberiku makan.

"Hebat hebat, seperti itulah Sonia yang kita semua kenal."

Suara licin diulur-ulur yang terdengar dari belakangku ini agak menjijikkan. Aku berbalik dan menatap Erlangga tepat di matanya.

"Tumben kau datang ke tempat kejadian, Bos. Pasti ada tugas baru kan?"

"Kau pintar sekali. Tepat, nilai seratus!"

Matanya jelalatan menatapku lalu beralih pada Melinda dan berdiam di sana cukup lama. Hei, aku tahu tubuhku tidak cukup feminim tapi sifat seperti itu tidak sopan. Memanfaatkan posisinya sebagai atasan, Erlangga begitu suka main mata dengan staf wanita. Kuharap suatu hari dia akan dipecat untuk itu.

"Jadi, ada tugas apa?"

"Oh, ya." Erlangga tersentak. "Kita punya satu slot laporan investigasi dan aku mau kau cari bahan untuk narasinya. Temanya… hmm, kemarin ada kasus anak Sma yang tinggal serumah layaknya suami istri jadi mari ambil kumpul kebo sebagai temanya. Yep, kumpul kebo tema yang bagus."

Mendengar itu aku hanya terdiam. Kumpul kebo alias kohabitasi memang cukup menggemparkan beberapa hari ini dan, secara kebetulan, aku kenal seseorang yang melakukan kohabitasi, sangat kenal malah.

"Kau bisa nggak?"

"… Bisa, nggak masalah."

Yeah, aku hanya perlu tutup mulut soal itu dan tak akan ada masalah.
Setelah kami membicarakan garis besarnya aku memilih untuk pulang karena tidak ada pekerjaan lain yang harus dikerjakan. Namun, mari berbelanja sedikit sebelum pulang. Kira-kira apa makan malam yang enak untuk hari ini? Daging, ikan, atau telur?

Sebenarnya cukup melelahkan untuk bekerja seharian lalu pulang ke rumah dan memasak. Akan lebih baik jika aku bisa fokus menjadi ibu rumah tangga. Namun, ini sebuah kewajiban untuk menabung dan berjaga-jaga atas entah apa yang akan terjadi di masa depan. Suatu saat aku akan punya anak dan anak itu akan butuh banyak biaya untuk pendidikannya, ini suatu tanggungjawab yang sudah kupeluk sejak memutuskan menikah.

Dan ngomong-ngomong soal tanggungjawab, aku cukup heran bagaimana adikku itu bisa memegang tanggungjawab yang sama di umurnya sekarang. Dia memang punya pekerjaan tapi belum terlalu menjanjikan, mustahil rasanya dia bisa memberi makan dua perut dan jika mengingat prospek masa depannya, aku jadi semakin khawatir. Kurasa lebih baik aku mengunjunginya lagi hari ini.

Ponselku berdering, suamiku mengirim pesan. Dia memberitahu bahwa dia harus lembur malam ini dan aku menerima kabar itu dengan baik. Aneh, kebetulan demi kebetulan terus saja terjadi. Sekarang aku bisa makan malam bersama mereka berdua. Kira-kira apa yang harus kubeli sebagai oleh-oleh?

Dan (kebetulan lagi) ponselku kembali menerima pesan, kali ini dari adikku. Dia bertanya di mana percetakan yang bagus…. Huh? Bagaimana aku bisa tahu yang seperti itu? Kenapa pula dia menanyakan itu?

Percetakan, mungkin itu berhubungan dengan pekerjaannya. Sayangnya aku sama sekali tak punya kenalan yang bekerja di bidang itu. Aku bisa bertanya ke beberapa orang, tetapi karena aku sedang luang mungkin aku bisa mencarinya sendiri sembari berbelanja.

Segalanya bisa ditemukan di toko online, tetapi kepuasan berbelanja hanya bisa ditemukan di pasar. Area khusus perbelanjaan bisa memenuhi hasratmu yang paling liar dan mencari percetakan akan sama seperti mencari kucing di toko hewan peliharaan. Well, aku bukan orang yang gemar berbelanja jadi semua itu hanya perkiraan semata.

Tapi kenyataannya menemukan percetakan memang mudah, hanya perlu berjalan seratus meter untuk menemukan mesin fotokopi dan tumpukan kertas HVS yang disusun rapi. Hanya saja ada dua masalah, aku tak tahu apakah itu percetakan yang bagus dan aku tak tahu percetakan macam apa yang adikku cari. Benar-benar merepotkan. Well, jika melihat ukuran dan jumlah pengunjungnya, percetakan ini tampaknya yang paling besar di area ini jadi aku akan merekomendasikan tempat ini. Sesederhana itu. Itu akan membuatku tampak seperti kakak yang bisa diandalkan.

"Dan selesai."

Baiklah, saatnya beli es krim.
Aku berjalan dengan hati riang, saking riangnya aku tak tak sengaja menabrak seseorang yang baru saja keluar dari percetakan itu dan membuat barang bawaannya berceceran di jalan.

"Eh maaf maaf!"

Aku ikut berjongkok untuk mengumpulkan seluruh kertas yang jatuh ke tanah dan sembari meminta maaf menyerahkannya pada wanita itu.

"Maaf banget Bu, Ibu nggak apa-apa kan?"

"Iya, nggak apa-apa. Saya juga yang salah."

Ada sesuatu yang familiar dengan suaranya. Bukan hanya suara, wajah dan postur tubuhnya juga tak asing. Aku tersenyum dan meminta maaf sekali lagi sebelum kembali berjalan. Kebetulan, orang itu ternyata berjalan ke arah yang sama denganku.

"Ibu mau belanja ya?" tanyaku sopan, sekedar basa-basi.

"Bukan," jawabnya disertai gelengan. "Saya… saya…."

Dia meremas tumpukan kertas di tangannya dan mendadak berhenti berjalan. Dia tertunduk, memeluk kertas-kertas itu erat di dadanya dan matanya basah, siap menangis kapan saja.

"Bu?"

"Saya harus apa sebenarnya?" tanyanya parau. Aku menghembuskan nafas panjang dan memutuskan menerima kebetulan ini sebagai takdir dan membawanya ke tempat duduk terdekat agar kami bisa bicara dengan tenang.

"Tarik nafas dulu," ucapku, "memangnya Ibu ada masalah apa?"

"Anak," jawabnya lirih. "Anak saya."

Dia kembali menyerahkan tumpukan kertas itu padaku. Di sana satu foto yang sama tercetak di seluruh lembaran kertas dengan kalimat yang sama, tipikal khas selebaran orang hilang. Ternyata masih ada yang mencari orang hilang dengan metode ini.

"Anak Ibu kabur dari rumah ya?"

Dengan air mata berlinang dia mengangguk. Aku menelan ludah pahit dan menyingkirkan selebaran itu dari pandanganku.

"Nama anak Ibu… siapa?"

Hari ini memang agak panas tapi ini adalah hari yang indah. Sayangnya, sesuatu yang indah seringkali hanya berlangsung sesaat, entah itu rusak atau dirusak. Yah, begitulah hidup. Yang namanya takdir selalu berkeliling setiap saat dan hari ini aku yang jadi korbannya.

"Soni… itu namanya."

Ya Tuhan, mengapa begitu banyak kebetulan yang terjadi hari ini?

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang