Soni itu siapa?

5 2 0
                                    

Malam hari, hujan, dingin, nasi goreng, dan Soni. Sejujurnya tak ada kombinasi yang lebih sempurna dari ini, tetapi entah mengapa malam ini terasa biasa saja. Aku tengah melihat Soni berputar, memamerkan gaun biru muda yang baru kami beli siang ini, dan sama sekali tidak merasakan niat untuk melukis pemandangan itu.

Sejak Ryan meninggal aku masih belum melukis apa pun. Aku merasa depresi, dan tidak termotivasi. Di saat-saat seperti ini seseorang membutuhkan suatu dorongan kuat, membutuhkan suatu titik tolak yang bisa membuatnya melampaui rasa depresi itu dan akhirnya melangkah maju.

Namun, hal-hal seperti itu tak bisa datang dengan mudah, meraihnya pun tidak mudah. Inilah kenyataan, bukan film maupun cerita fiksi. Kematian seseorang akan terus membekas dalam hati, menciptakan lubang menganga yang hanya bisa disembuhkan oleh sang waktu.

"Kenapa kau melamun?" tanya Soni, ada keprihatinan dalam suaranya. "Apa aku tidak terlihat menarik?"

"Kau sangat cantik Soni, aku sampai bosan mengatakan itu."

"Kalau aku cantik kenapa kau tidak mengambil pensil dan melukis?"

"Tidak ingin saja."

Ekspresi yang Soni tunjukkan berubah dari kekecewaan menjadi keresahan. Apa ini cuma perasaanku saja atau aku memang terlalu banyak memperhatikan ekspresi orang lain? Sampai saat ini ekspresi itu masih jelas tertanam dalam ingatanku, ekspresi Ryan yang mengakhiri nyawanya di tali gantungan, ekspresi penuh kelelahan dan keputusasaan. Ekspresi yang membuat mual, masih membuatku merinding, tapi… ahh, tidak, jangan dipikirkan lagi.

"Kalau memang tidak diperlukan lagi boleh baju ini kulepas? Sayang kalau ini kotor hanya karena dipakai di rumah."

"Itu milikmu Soni, lakukan apa pun yang kau mau."

"Oke. Umm… jangan berbalik ya."

"Tidak akan."

Aku bahkan tak bisa merasakan sedikit pun keinginan untuk mengintip seolah-olah segala hasrat duniawi yang aku miliki telah mati. Soni mengganti pakaiannya dengan cepat lalu membuatkan teh hangat untuk kami berdua. Aku merasa tak enak menatap matanya jadi aku lebih memilih fokus pada permukaan air di dalam gelas. Tenang… yep, tenang dan panas.

"Ngomong-ngomong," ucap Soni mendadak, "tadi Rui berbisik apa padamu?"

Ahh, benar juga, Rui. Aku yakin dia pasti sudah mengatakan sesuatu yang aneh pada Soni dan mengubahnya menjadi wanita yang penuh curiga. Kenapa sih wanita itu selalu memberi beban tambahan di tulang punggungku?

"Dia cerita kesannya tentangmu," jawabku jujur. Jujur adalah pilihan terbaik. "Dia bilang, kau adalah tipe orang yang menyembunyikan trauma mendalam jadi aku… yah, aku harus selalu ada untukmu."

Keterkejutan Soni menjadi bukti bahwa apa yang Rui katakan memang benar. Awalnya aku tidak begitu peduli akan masa lalu Soni, aku menganggapnya sebagai orang yang tiba-tiba muncul begitu saja, tanpa masa lalu dan tanpa hubungan dengan orang lain.

Namun, sekarang keadaan sudah berubah. Tanpa sadar aku sudah membiarkannya terlalu dekat sampai-sampai aku tak lagi bisa mengabaikan hal itu. Soni, dia ini sebenarnya siapa?

"Tadi kau selalu memakai masker." Aku menegakkan posisi dudukku dan kali ini menatapnya lurus di mata, melihatnya cemas dan takut. "Apa sebenarnya kau takut ada yang akan mengenalimu?"

Kecurigaan itu sudah ada di kepalaku sejak pagi. Tingkah lakunya yang terus melihat ke kanan dan kiri memberi kesan bahwa dia takut seseorang yang dia kenal akan melihatnya. Soni benar-benar ketakutan, karena itulah aku merasa sangat tidak puas dengan kencan kecil kami tadi.

Soni menelan ludah, setetes keringat jatuh mengaliri pipinya di tengah cuaca yang dingin ini. Kedua tangannya menggenggam cangkir berisi teh panas seolah meminta sedikit kehangatan, tetapi tangannya tetap gemetar.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang