Ryan

19 4 0
                                    

"Shade! Selamat datang kembali Sobat!"

Karena masih benar-benar baru dan pekerjanya sedikit, perusahaan ini belum menetapkan ruangan untuk masing-masing kebutuhan. Di sini kami hanya menyebutnya ruang serbaguna satu, dua dan seterusnya jadi banyak orang dengan urusan yang bermacam-macam berkumpul dalam satu ruangan. Tentunya ini bukan area kerja yang ideal tapi karena belum pernah ada masalah maka sistem ini tetap dipertahankan.

Aku sendiri biasanya melakukan tugasku di ruang serbaguna satu dan di tempat itulah aku bertemu Ryan yang katanya punya masalah untuk dibicarakan.

Ryan adalah karyawan paling tua di sini. Di umurnya yang mendekati kepala tiga dia punya wajah bundar yang ramah dengan mata yang masih menunjukkan semangat anak Sma. Sebenarnya dia bukanlah karyawan tetap, lebih tepatnya dia adalah rekan bisnis yang sering mampir demi wifi gratis.

"Kau bilang ada masalah sama… warna ya? Masalahnya emang apaan?"

"Terlalu cerah," jawabnya, "seperti masa depanku."

Dengan mengabaikan tambahan kalimatnya yang tidak perlu aku melihat apa yang dia sodorkan kepadaku. Itu adalah sebuah kartu yang mirip dengan kartu ATM, tapi yang tercetak di permukaannya adalah karakter robot mekanik dengan desain burung garuda yang kubuat tempo hari dengan beberapa perubahan yakni warnanya yang lebih mencolok karena saturasinya ditingkatkan.

"Kok jadi gini? Aku nggak masalah sama bagian lain tapi punggungnya jangan total biru gelap gini dong."

"Tapi kalau dicetak begitu warna putih bahan kartunya bakalan membayang lo. Lagian jika desainnya terealisasikan pasti bakal kelihatan transparan."

Aku menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku. Aku tak begitu mengerti bagaimana desain ini akan dipergunakan karena contoh nyatanya belum berhasil diselesaikan oleh pihak pengembang dan karena itulah aku hanya bisa bicara sebagai seorang Character Designer.

"Jadi begini, Garuda itu adalah kendaraan Dewa Wisnu dan Dewa Wisnu terkenal akan kulitnya yang biru gelap. Kalau punggung Garuda kita buat biru gelap juga warnanya bakalan nyatu dan kelihatan jelek. Aku sengaja pilih warna biru yang lebih muda biar kontrasnya dengan kulit Dewa Wisnu kelihatan."

Ryan ter-stun untuk beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk-angguk dengan tangan di dagunya.

"Masuk akal masuk akal. Pendapatmu ada benarnya tapi aku juga punya pendapatku sendiri sebagai orang yang bertanggungjawab untuk mencetak kartunya. Terus gimana dong?"

"Yaudah, serahin aja ke beta tester nanti. Mereka lebih pengalaman ngurus ginian. Kuharap."

"Yep, kita harap."

Aku mengeluarkan buku catatanku untuk mencatat hal itu sebagai kemungkinan masalah di masa depan dan saat aku membukanya tanpa sengaja mata Ryan mencuri pandang kearah isinya.

"Wow, lukisan yang cantik. Itu siapa?"

"Ini… seorang dewi dalam imajinasiku."

"Ngehalu terus, cari pacar sana!"

Aku lupa kalau aku sudah menghabiskan begitu banyak lembar untuk melukis Soni sehingga aku harus menulis catatan di sudut-sudut yang masih kosong. Meski demikian aku merasa sedikit bangga saat Ryan memuji kecantikan Soni dalam lukisan ini.

"Ngomong-ngomong Yan, istrimu apa kabar? Udah melahirkan?"

"Belum, mungkin satu bulan lagi atau kurang," jawab Ryan yang kecerahan wajahnya naik satu tingkat. Dia tersenyum sumringah dan permasalahan warna pun terlupakan begitu saja.

"Kami kemarin nyoba cari tahu jenis kelamin bayi kami dan ternyata jenis kelaminnya perempuan. Harus kukasih nama apa ya? Selena? Carla? Atau Bidadari?"

"Gimana kalau Cecile saja?" saranku setengah bercanda dan Ryan tampak ngeri.

"Kau gila. Cecile itu—"

"Aku kenapa?"

"ASTAGANAGA ALAMAKJANG!"

Serempak kami langsung bersembunyi di bawah meja untuk menghindari arah pandang Cecile yang tiba-tiba muncul begitu saja. Usaha yang sia-sia karena sekali seekor ular mendeteksi mangsa maka ular itu akan terus menjulurkan lidahnya.

"Oi, aku kenapa?" tanya Cecile yang sudah membungkuk agar matanya bisa mencari tempat yang sempurna untuk dipatok. Tampaknya bersembunyi pun percuma, lebih baik kami jujur saja.

"Ryan bilang anaknya nanti akan diberi nama Cecile," jawabku tanpa dosa sementara Ryan tampak pucat dan panik.

"Oh ya? Ohh, sebuah kehormatan. Aku turut senang untuk anakmu Ryan, aku akan lebih senang lagi jika kau berhenti memakai wifi perusahaan untuk mendownload film bajakan."

Headshot! Bahkan pujian dari Cecile tetap mengandung hinaan terselubung. Ryan tampak malu sekali dan mungkin itulah sebabnya dia buru-buru mengemasi barangnya.

"Ngomong-ngomong Shade, Boss sudah menunggu jadi sebaiknya kau cepat kesana," tambah Cecile sebelum dia berbalik pergi, tampaknya dia hanya datang kemari untuk memberitahuku itu.

"Sumpah deh, kalau sifatnya begitu dia nggak akan bisa menikah," gumam Ryan sembari menutup laptopnya. "Tapi aku jadi keingat, kau dulu pacaran sama dia kan?"

"Hmm, waktu Sma."

"Kok bisa keajaiban semacam itu terjadi? Dia maksa kau atau dulu mulutnya belum begitu?"

Aku hanya memberi kedikan bahu yang menandakan aku tak ingin membicarakan itu. Ryan mengerti dan memberiku tepukan simpati di bahu.

"Ngomong-ngomong jangan sedih terlalu lama," ucapnya sembari bangkit berdiri untuk pulang, "dengarkan baik-baik Nak, kita akan selalu kehilangan sesuatu tapi di sisi lain kita akan mendapat hal lain sebagai gantinya. Semangat, oke?"

Aku hanya mengangguk sekedarnya. Tampaknya berita kematian ibuku sudah menyebar dari mulut ke mulut dan aku bersyukur punya rekan kerja yang pengertian. Meski demikian selepas membicarakan tentang warna, istri, anak dan pacar, entah mengapa aku malah merindukan Soni. kenapa bisa begitu ya? Entahlah, sekarang mari temui Boss terlebih dahulu.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang