Ruangan Rui masih terasa sama, sejuk dan dipenuhi melodi Bohemian Rhapsody yang diputar tak henti-henti layaknya hymne gereja di hari minggu. Aku tengah duduk di kursi sementara di seberang meja Rui tengah sibuk menyulam topi rajutan baru untuk anaknya dan sepenuhnya mengabaikanku. Bukannya dia pernah bilang kalau aku akan disambut kapan saja?
"Ngomong-ngomong Rui, bagaimana kisah cinta antara kau dan suamimu saat pertama bertemu?"
"Hmm…. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
"Agar kita tak perlu mendengarkan suara Freddie Mercury yang sekarang sudah kuhapal luar kepala. Serius deh, apa kau nggak punya lagu lain selain ini?"
"Hmm… tidak. Aku memutar musik karena itu menjaga kepalaku agar tidak kosong. Kepala yang kosong membuat pikiranku melayang memikirkan hal-hal buruk dan jika aku berpikiran negatif bisa-bisa aku tanpa sengaja akan membujuk pasienku untuk bunuh diri. Kau juga tunggulah sebentar, aku sedang menghimpun konsentrasi agar bisa memberimu konseling terbaik."
Aku sama sekali tak tahu ada logika semacam itu di balik tindakannya jadi aku memilih diam dan menunggunya selesai merajut topi yang bentuknya lebih mirip kandung kemih itu. Setelah beberapa menit yang penuh suara lengkingan Freddie, Rui akhirnya meletakkan peralatan sulamnya.
"Aku sudah dengar tentang Soni." Aku langsung merasa semangatku yang baru terkumpul sedikit lenyap seketika. "Dan aku sungguh-sungguh terkejut, itu melampaui ekspektasi terliarku. Jadi, apa masalahmu sampai-sampai kau dengan sukarela datang ke mari?"
"Ayolah, aku sedang tak ingin bercanda."
"Memangnya aku terdengar seperti melawak? Aku tanya, apa yang mengganggu pikiranmu sampai-sampai kau butuh seorang ahli jiwa? Coba katakan Shade, buat jawabanmu dalam bentuk kalimat, apa yang sebenarnya mengganggumu?"
Dengan entengnya dia berdiri dan memanaskan air di pojok ruangan, meninggalkanku dalam kebingungan yang sekali lagi tak bisa kujawab. Suara air yang memanas lalu mendidih menemani kebingunganku.
"Earl Grey, daun teh para bangsawan. Favorit ibumu. Dia selalu minum ini untuk teman bincang-bincang sore."
Dia meletakkan secangkir teh panas di depanku, tetapi aku sama sekali tak berniat meminumnya. Ibuku selalu bilang bahwa aroma teh jauh lebih nikmat dibanding rasanya. Dan memang benar, aromanya cukup membuat syaraf-syarafku lebih tenang.
"Jadi, sudah dapat jawabannya?" desak Rui.
"Aku tidak yakin."
"Kalau ini ujian aku pasti akan tetap menjawab meski tidak yakin. Katakan sajalah, aku tak akan memberitahu kakakmu jika kau malu."
"Okay…. Okay. Kurasa… oh ya ampun, ini memalukan. Sudah 22 tahun aku hidup tapi baru kali ini aku benar-benar merasa kesepian."
"Kesepian? Cuma itu?"
"Aku depresi, mungkin. Rasanya seperti ada lubang besar di hatiku yang perlahan-lahan diisi dengan bunga lalu kemudian bunga itu dicabut dengan kasar, hanya meninggalkan kompos yang bau di dalamnya. Seperti itulah keadaanku sekarang."
Rui menatapku dengan sebelah alis terangkat yang membuatnya terlihat amat menggelikan.
"Itu pengandaian yang cukup aneh. Bisa kau sederhanakan?"
Aku menghembuskan napas jengkel. Kalau aku masih anak-anak berumur lima tahun maka hal ini sangat mudah disampaikan, tetapi di umurku sekarang hal ini begitu memalukan. Kurasa ini salah satu hal buruk dari menjadi dewasa. Aku jadi sulit jujur pada diriku sendiri.
"Aku cinta dia. Aku ingin dia kembali."
Satu detik… dua detik… butuh tiga detik bagi Rui untuk merespon dan respon yang dia berikan adalah tawa terbahak-bahak yang saking kerasnya sampai bergema di ruang tertutup ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...