"Suatu hari di kota XX, hiduplah seorang budak bernama Shade. Setiap harinya Shade bekerja hingga jari-jarinya menekuk dan tak bisa lurus lagi. Agar bisa lurus kembali Shade harus membawa jarinya ke dukun patah tulang bernama Soni. Sayangnya, Soni memiliki metode pengobatan yang sedikit ekstrim. Dia tidak bisa menyembuhkan luka, dia hanya mampu memindahkannya, jadi setiap harinya Shade harus membawa tumbal seekor yang kucing akan menerima penyakitnya…."
"Tunggu sebentar, kenapa ceritanya jadi horor begitu?"
Aku menusuk kuning telur di piringku menggunakan garpu. Aku selalu suka melihat kuning telur yang masih cair itu melumer membasahi seluruh permukaan telur mata sapi layaknya gunung berapi yang meletus melontarkan magma.
"Sejak awal jalan ceritanya memang begitu." Soni berkilah dengan minum air banyak-banyak.
"Okay, mungkin aku salah tangkap. Silahkan lanjut."
"Baiklah, aku lanjut. Sampai mana tadi? Oh ya, Shade harus menyiapkan tumbal seekor hewan sehingga Soni bisa memindahkan penyakit Shade ke hewan tersebut. Satu hari, satu kucing. Shade melakukan pekerjaannya dengan tekun dan kucing-kucing yang dia bawa akan menanggung sakitnya hingga suatu hari seluruh kucing liar di kota XX tak lagi bisa berjalan normal. Shade pun kehabisan kucing.
"Kehabisan akal, Shade harus menerima takdir bahwa jari-jarinya akan bengkok selamanya. Dia pun mengumpulkan seluruh kucing yang dia buat cacat lalu menyerang perusahaan tempat dia bekerja. Mereka bersatu padu membebaskan para budak di sana lalu membunuh bos yang selalu menyuruh Shade bekerja lembur tanpa bayaran. Akhirnya, Shade dan para kucing hidup bahagia selamanya. Tamat."
Aku bisa mendengar suara kuning telur menetes-netes ke meja di kala sendokku berhenti di tengah udara. Mulutku menganga dan seekor lalat masuk dan keluar melewatinya. Cerita macam apa yang baru saja kudengar ini?
"Lalu apa yang terjadi pada Soni? Ke mana dia sampai tak muncul di akhir cerita?"
"Soni… dia menikahi Shade lalu hidup bahagia selamanya."
Hening untuk sesaat lalu kami berdua mengalihkan pandangan. Dari sudut mataku bisa kulihat pipinya agak memerah.
"Itu cerita yang aneh," ucapku lima menit kemudian. "Aku bahkan tak yakin bagian mana yang aneh."
"Maafkanlah daku jika ceritanya jadi begitu. Aku akan menggali lubang dan mengubur laptopku selama-lamanya."
"Jangan! Kurasa ide untuk memindahkan penyakit dari satu orang ke orang lain itu cukup menarik. Kau bisa kembangkan itu."
Aku pernah menonton suatu film dengan konsep serupa, tapi aku sudah lupa itu film apa. Kalau dipikir-pikir kapan terakhir aku menonton film? Tiba-tiba saja aku ingin membawa Soni ke bioskop.
"Ngomong-ngomong Soni, apa film kesukaanmu?"
"Film? When the Wind Blows karya Jimmy Murakami."
"Aku tak pernah dengar, itu film tentang apa?"
"Film itu diadaptasi dari novel, ceritanya tentang pasangan tua yang perlahan-lahan sekarat akibat perang nuklir. Mereka tidak tahu tentang ancaman di luar sana hingga akhirnya tewas perlahan-lahan akibat udara yang tercemar. Film yang bagus sekali."
Mendengar ringkasannya saja aku yakin itu film penuh tragedi. Mengapa Soni sangat suka cerita-cerita seperti itu?
"Kalau kau suka film sedih kurasa kau pasti suka The Green Mile."
"Stephen King. Ya, aku menonton itu juga."
"Well, kurasa aku tak akan bisa membujukmu menonton film komedi. Terkadang sedikit tertawa itu perlu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...