Tiga hari setelah kehidupanku bersama Soni dimulai aku mendapat pesan whatsApp yang kurang mengenakkan. Hari Senin, hari di mana aku wajib masuk kerja. Jika bisa sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu di rumah saja dan melukis Soni seharian, tapi jika aku tidak bekerja maka aku tak bisa dapat uang. Tak ada uang berarti tak ada makanan untuk kami berdua.
Kuletakkan ponselku di atas meja begitu saja dan melirik Soni yang tengah memasak. Selama tiga hari ini aku menyadari bahwa Soni merupakan asisten rumah tangga yang begitu luar biasa. Tak hanya memasak, dia membersihkan setiap sudut ruangan tanpa diminta dan jika diberi bahan yang tepat dia bisa menyajikan makanan selevel restoran. Jika aku mengabaikan senandungnya yang sumbang itu maka pemandangan pagi hari ini bisa dianggap sempurna untuk memberikan semangat kerja.
Dan tentunya Chef Soni adalah objek lukisan yang tak kalah nilainya jika dibandingkan dengan patung The Thinker. Maksudku, lihat celemek itu. Jika aku yang memakainya maka tak ada siapa pun yang akan melihatku dua kali, tapi saat dikenakan oleh Soni maka seluruh pria dalam radius 500 meter akan mengantri untuk berjabat tangan dengannya.
Sangat sulit untuk menggambarkan pesona celemek itu ke dalam buku tulis. Aku akan bersyukur jika memiliki kanvas besar sebagai media lukis, tapi dengan sisa uang di dompetku maka kebutuhan pangan perlu diprioritaskan.
"Maaf lama~"
"Tidak masalah."
Apa yang dia taruh di atas meja adalah roti panggang, salad, telur dadar dan kopi. Tampaknya pagi ini kami akan sarapan dengan gaya Amerika. Selama beberapa hari ini Soni memang terus memasak menu yang berbeda-beda sehingga aku tak pernah bosan dengan apa yang dia sajikan. Kami menghabiskan sarapan dengan berbasa-basi singkat dan dalam sekejap waktu sarapan pun selesai. Sialan, kenapa waktu selalu berjalan cepat saat ada hal tak mengenakkan yang menunggu?
"Emm, Soni. Hari ini aku harus pergi, cuti kerjaku sudah selesai."
Soni yang tengah mencuci piring menghentikan kegiatannya untuk sejenak. Aku tak bisa menebak apa yang dia pikirkan tapi aku cukup yakin dia gelisah. Soni benar-benar mudah gelisah jika sendirian, terlebih benda hitam itu masih mengganggunya setiap malam.
"Aku janji akan pulang sebelum malam, kau tak perlu khawatir."
"Aku mengerti, aku akan jaga rumah kalau begitu."
Rasanya tak enak meninggalkan Soni sendirian, tapi apa boleh buat? Aku memaksa diri menggerakkan kakiku untuk mandi dan bersiap-siap.
Satu hal yang masih sulit untuk kami lakukan adalah mengatur ruang privat kami di ruangan yang kecil ini. Bisa dibilang satu-satunya tempat di mana kami tak bisa saling melihat satu sama lain hanyalah di kamar mandi jadi sebuah peraturan tak tertulis pun tercipta tanpa ada yang membicarakannya. Berganti pakaian harus dilakukan di kamar mandi.
Dan bersamaan dengan itu beberapa masalah lain pun tercipta, contohnya baju kotor kami. Biasanya aku meletakkan baju kotorku dalam kantung plastik dan membawanya ke laundry saat plastiknya penuh, tapi dengan keberadaan baju Soni maka pergi ke laundry akan sedikit menyulitkan. Apa yang harus kulakukan untuk itu? Ahh, akan kupikirkan itu nanti saja.
"Kalau begitu aku pergi dulu."
Aku sudah selesai memakai sepatu saat Soni menarik lengan bajuku. Dia tampak salah tingkah, yang mana sudah menjadi pemandangan biasa selama tiga hari ini, tapi salah tingkahnya kali ini diiringi dengan semburat merah di pipinya.
"Bo-bole aku minta tolong?"
"Ya, katakan saja."
"Saat kamu pulang nanti … bisa beli deterjen?"
Satu detik… dua detik… tiga detik. Permintaannya terdengar terlalu normal untuk membuatnya merasa malu.
"Kau mau nyuci baju?"
"I-iya. Nyuci… ini dan itu."
Aku paham maksudnya tapi yang menjadi pertanyaanku adalah, apa yang akan dikatakan tetangga jika melihat pakaian dalam wanita dijemur di balkonku? Ehh bukan bukan, ada pertanyaan yang lebih mendasar. Entah di mana pun dia menjemur pakaiannya, apa dia tak risih jika aku melihat itu?
Namun ini adalah permasalahan yang pasti akan kami hadapi, inilah resiko tinggal berdua seperti ini. Masalah risih atau tidaknya akan kami bicarakan nanti.
"Okay, karna itu tidak mahal jadi pasti kubelikan."
Namun tangannya masih mencengkram lengan kemejaku.
"Ada yang lain lagi? Katakan saja, selama harganya terjangkau aku tak keberatan."
Wajah Soni pun mencapai level merah tertinggi yang pernah aku lihat. Mendadak saja aku mendapat dorongan kuat untuk melukisnya tapi jika aku melakukan itu maka aku akan terlambat kerja dan itu sama saja cari mati. Karenanya aku pun mendesak Soni untuk cepat. Demi dirinya dan demi keselamatanku.
"Tolong … belikan aku …. P-pembalut."
"…. Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...