Menenangkan hati

4 1 0
                                    

Sejak dulu aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Bukan berarti aku menutup diri, aku hanya tidak begitu suka keramaian. Aku punya beberapa teman dan bagiku itu sudah cukup. Dengan gaya hidup seperti itu aku mengira kesepian adalah hal yang biasa, aku mengira bahwa aku sudah berdamai dengan suara hening di dalam kepalaku.

Namun, kesepian ini ternyata lebih menyakitkan dikala aku sudah pernah mencicipi kehangatan yang mengambil wujud seorang perempuan muda bernama Soni. Satu malam tanpa tidur sudah cukup untuk membuktikan betapa tidak berdayanya aku tanpanya.

Meski mencoba tetapi aku benar-benar tak bisa memaksakan diriku untuk tidur. Detik demi detik yang terlewat berubah menjadi sabetan pisau yang mengiris kulitku dan tak akan berhenti sebelum mencapai jantung. Rasanya begitu menyakitkan, satu-satunya hal yang membuatku tetap waras hanyalah aroma wangi yang tersisa di bantal, aroma Soni.

Kira-kira berapa lama aroma itu akan menempel di bantal? Satu minggu? Satu bulan? Atau bisakah aroma itu bertahan hingga pagi?

Dan akhirnya pagi pun tiba. Aku sama sekali tidak merasakan dorongan apa pun untuk bangkit dari tempat tidur. Tidak rasa lapar, tidak pekerjaan. Yang aku inginkan hanyalah terus berbaring dan meresapi seluruh aroma yang Soni tinggalkan sebelum aroma itu menghilang.

Jam sembilan pagi aku mendapat panggilan dari Cecile. Aku yakin sekali dia akan berteriak dan menceramahiku atas absen dadakan ini jadi aku merasa ragu untuk mengangkatnya. Namun, keheningan ini terasa begitu menyakitkan. Aku tak yakin apakah aku bisa bertahan hanya dengan suaraku sendiri jadi aku menerima panggilan itu dan menyambut kemarahannya dengan tangan terbuka.

"Kau sakit?"

Hanya itu yang dia katakan. Singkat, padat, dan jelas.

"Ya… kurasa begitu."

"Well, Amir bilang kau kelelahan kemarin jadi dia memberimu ijin cuti. Memangnya kau sakit apa?"

"Sakit… hati."

"Hati? Maksudmu hepatitis? Kau harus segera ke dokter kalau begitu."

Pergi ke dokter tidak akan ada gunanya, aku tahu itu. Aku tahu apa penyakitku dan tahu apa obatnya. Namun, obat itu telah berada di luar jangkauanku.

"Aku ingin berbaring saja hari ini."

"Hmm, baiklah. Nggak usah pikirkan pekerjaan, kita masih ada sedikit waktu kok. Tapi kalau kau ada masalah jangan dipendam sendiri. jangan sampai kau… seperti Ryan."

Entah mengapa genggaman tanganku pada ponsel menguat tanpa sadar. Aku mengucapkan terima kasih dan mengakhiri panggilan secara sepihak.
Pembicaraan dengan Cecile tanpa sadar membuat mataku tertuju pada langit-langit. Entah mengapa aku membayangkan sebuah tali tebal tergantung di sana dengan ujungnya yang diatur membentuk lingkaran. Saat manusia berada di titik terendah, pikiran-pikiran semacam ini memang sangat mudah terlintas.

Tak lagi memiliki semangat hidup, tak lagi memiliki apa-apa, tak lagi ingin melakukan apa-apa. Semua pikiran itu memberikan rasa lelah yang tak terbayangkan sehingga mengakhiri hidup terlihat seperti pilihan yang amat menggoda. Hidup tanpa harapan amatlah mengerikan, Ryan tahu betul hal itu.

Sekarang, apa aku punya tali?

"Sebaiknya kau tidak memikirkan yang aneh-aneh."

Suara itu membuatku melakukan sit-up secara spontan dan nyaris saja berteriak saat melihat kakakku sudah duduk di tepi kasur.

"Kenapa kau ada di sini?!"

"Untuk menemuimu pastinya."

"Kenapa nggak ketok pintu dulu?"

"Aku mengetuk, tapi kau sama sekali tidak menjawab jadi aku masuk saja."

"Dari mana kau tahu aku di sini?"

"Cecile yang bilang."

Semua jawabannya membuatku kesal, begitu tenang dan logis. Begitulah kakakku, selalu tenang meskipun petir menyambar di depan matanya.

"Di mana Soni?" tanyanya kemudian.

"Sesuai keinginanmu. Dia pergi."

".… Ohh. Kau udah makan? Pasti belum. Biar kumasakkan sesuatu."

Aku lapar, tapi tidak selera makan. Namun, aku biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau, itu lebih mudah dibanding berdebat dengannya.

"Bahkan meski dia pergi dia masih menyiapkan makanan untukmu. Dia benar-benar anak yang baik."

Benar juga, Soni menyiapkan makanan untukku semalam tapi aku sama sekali tidak menyentuh itu. Dia memanaskan kembali makanan itu dan membawakannya padaku. Aku sama sekali tidak selera untuk makan, tetapi masakan itu memiliki aroma familiar, aroma yang membuat rindu, jadi perlahan aku mengambil sendok dan menyuapkan sedikit demi sedikit ke dalam mulutku.

"Jadi, Soni sudah memberitahumu semuanya ya?"

"Ya… semuanya."

"Kau tidak terlihat terkejut karna aku tau."

"Aku tidak sebodoh yang kau kira."

Saat aku pulang semalam pintu tidak terkunci dan Soni sudah memindahkan sebagian besar barangnya. Itu berarti ada yang memberinya kunci dan satu-satunya orang yang memiliki kunci selain aku adalah kakakku. Dengan kata lain, dialah penyebab utama Soni memutuskan pergi.

"Kenapa kau melakukan itu?" gerutuku. "Apa kau benar-benar tidak suka dia tinggal di sini?"

"Sebelum kujawab, jawab dulu pertanyaanku. Apa kau masih ingin dia tinggal di sini?"

Jawaban yang jujur adalah ya, tetapi ada begitu banyak hal yang mendadak terangkat ke permukaan pikiranku dan membuatku sulit untuk menjawab. Tenggorokanku terasa disumbat, mengapa menjawab pertanyaan itu kini terasa begitu sulit?

"Aku paham perasaanmu. Gadis yang kau suka ternyata bukan gadis lagi dan bahkan pernah melakukan aborsi. Itu pasti sulit untuk perjaka sepertimu. Setidaknya kau akan butuh waktu lama untuk menenangkan hati, sangat-sangat lama."

"…. Itu memang sulit."

Aku jadi teringat dengan Amir. Cinta pertamanya adalah gurunya saat Smp yang ternyata sudah menikah. Kira-kira bagaimana perasaannya saat itu? Meski sakit tapi kurasa kasusku jauh lebih ekstrim.

"Jadi, kenapa kau melakukan itu?" tanyaku balik. "Kurasa kau tidak terlalu peduli pada Soni."

"Yeah, aku hanya memberikan sedikit dorongan. Pada akhirnya Soni yang memutuskan pergi. Aku sendiri tak menyangka akhirnya akan menjadi begini tapi kurasa ini tak buruk, kalian harus gunakan waktu-waktu ini untuk merenungkan kembali kehidupan kalian."

"Singkatnya, kau hanya tak mau Soni dekat-dekat denganku kan?"

Dia terdiam untuk sesaat dan yang aku tahu adalah aku membenci hal itu, aku mulai membenci semua tentang kakakku sendiri. Dia terlalu banyak ikut campur dalam hidupku.

"Aku tak pernah ikut campur dalam hidupmu Kak. Saat kau memilih menikah dengan pria pengangguran yang hanya punya rencana itu aku berdiri di pihakmu karna aku tau kau cinta dia. Lalu sekarang kenapa kau sibuk sekali dengan apa yang kuperbuat? Apa kau tak senang kalau aku menempuh jalan yang sama denganmu dulu?"

"Jujur saja, iya," jawabnya. "Aku tak begitu suka kalau kau akhirnya jadian dengan… dengan perempuan sepertinya. Aku ingin yang terbaik untukmu Shade, tapi pada akhirnya kaulah orang yang paling tahu mana yang terbaik untukmu. Kalau pada akhirnya kau tetap memilih Soni maka aku tidak keberatan, tapi pikirkanlah keputusanmu matang-matang dengan otak yang sedikit lebih jernih."

Aku tak bisa menemukan kata kasar untuk membalas itu, kurasa aku bahkan tak sanggup untuk mengutuknya, jadi aku pun mengangguk dan melanjutkan makanku.

"Kalau kau sudah tenang cobalah temui Rui. Jangan keras kepala! sesekali kita semua memang butuh psikiater. Setelah itu, aku ingin kau bertemu seseorang. Tapi untuk hari ini makan dan istirahatlah. Jangan pikirkan dan jangan lakukan hal yang konyol. Kau mengerti?!"

Tersenyum kecut, aku kembali mengangguk dan dia pun meninggalkanku sendirian

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang