Tolong janji padaku

8 4 0
                                    

Hawa dingin yang menyengat membangunkanku dari tidur. Langit sudah gelap dan suara guntur sesekali terdengar mengancam, suasana yang sempurna untuk tidur, tapi kenapa aku bisa tertidur?

Jawabannya kutemukan setelah melihat Soni berbaring di sebelahku. Dia melipat tubuhnya seperti janin bayi demi menghalau dingin dan dengan perasaan sayang yang tak bisa dijelaskan aku menarik sebanyak mungkin kain untuk menyelimutinya. Berharap agar dia tidak terbangun, aku bangkit dari kasur dan mengambil segelas air untuk membasahi mulutku yang terasa begitu kering.

Aku melihat beberapa lauk terletak di atas meja, Soni pasti berpikir bahwa aku akan kelaparan setelah bangun dan memasak itu. Namun, meski sangat lapar, aku tidak punya selera untuk makan. Rasanya seperti ada kubangan lumpur di dalam mulut yang membuat yang membuat semuanya terasa menjijikkan. Bahkan air ini terasa seperti kencing kuda.

Mungkin semua orang yang mengalami tekanan emosional merasakan hal yang sama. Awalnya kau menolak untuk makan lalu tubuhmu menjadi begitu lemah, dan kemudian rasa lapar itu mempengaruhi pikiranmu, memberikan banyak emosi negatif. Dari yang awalnya sekedar lapar berubah menjadi kecemasan dan kemudian menjadi putus asa.

Ternyata, sekedar rasa lapar bisa mengarahkan seseorang pada tragedi yang disebut bunuh diri. Pemikiran itu membuat perutku bergejolak dan tanpa sadar aku sudah berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi lambungku disana.

Sialan, kenapa semua ini bisa terjadi? Sebenarnya apa yang salah? Sebenarnya siapa yang salah?

"Shade…."

Tepukan lembut di punggungku memberikan ketenangan yang hangat. Tanpa sadar aku langsung berbalik dan mendekap Soni erat-erat.

"Soni, jangan pernah sekali pun kau coba bunuh diri lagi. Tolong janji padaku."

"Ya, aku janji. Aku janji."

Dia membawaku kembali ke meja dan membuatkan teh hangat dengan banyak gula untuk setidaknya mengisi perutku. Rasanya… percuma, pahit sekali.

"Perlu kupanaskan lauknya?" tawar Soni.

"Nggak usah, aku mau tidur aja."

"Tapi kamu harus makan. Bahkan muntahmu tadi isinya cuma air."

"KUBILANG NGGAK YA NGGAK!"

Teriakanku membuat Soni tersentak dan itu membuatku merasa amat bersalah. Namun, Soni malah membalas dengan senyuman.

"Oke, ayo tidur."

"… Maaf."

Rintik-rintik hujan mulai membasahi atap saat kami sudah berdiam di dalam selimut. Awalnya pelan dan perlahan-lahan semakin deras sampai-sampai selimut yang kami pakai seolah tak ada gunanya. Soni menggigil sedangkan aku yang yang dalam keadaan perut kosong mulai merasakan gejala hipotermia. Tanpa sadar aku sudah menggenggam tangan Soni erat, mencoba untuk berbagi kehangatan dengannya.

"Oh? Mau melakukannya?" goda Soni.

"Hidupmu masih panjang Soni, jangan sia-siakan dengan orang sepertiku."

"… Apa maksudnya itu?"

"Kau sudah dengar dari kakakku kan? Aku inginnya jadi pelukis tapi masa depan terlihat suram. Saat sekolah dulu aku kira semua akan baik-baik saja tapi seiring bertambahnya usia kenyataannya tidak begitu. Setengah dari diriku merasa tak ingin bekerja di perusahaan itu lagi. Kalau begitu apa yang harus kulakukan? Di mana aku harus bekerja nantinya? Tempat kerja yang bisa aku sukai sekaligus menghasilkan uang."

Keresahan itu mengalir begitu saja. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk melepas mimpi, melanjut kuliah di bidang yang bisa menghasilkan uang, meletakkan pensilku selamanya.

"Tapi bukannya kau suka bekerja di… perusahaan game itu?" tanya Soni. Dia memiringkan tubuhnya sehingga kini kami saling berhadapan. Posisi yang canggung, tetapi ekspresi Soni begitu serius.

"Aku tidak suka bekerja di sana," balasku tegas.

"Kurasa kau cuma keras kepala. Aku memperhatikanmu Shade dan aku tau kau tampak senang saat mendesain semua karakter itu. Mulai dari caramu mempelajari sejarah makhluk mitologi, memasukkan jumlah angka nasionalis sebagai sayap garuda, berdebat tentang warna yang paling cocok untuk Persephone, mencari pola-pola tradisional untuk tokoh sejarah, dan… dan menggunakanku sebagai referensi Aphrodite. Kau bahkan sering membuat karakter-karakter yang tak ada dalam job desk hanya karna ingin melihat semuanya lengkap. Apa aku salah?"

Aku sama sekali tidak memperhatikan semua itu, tapi jika kupikir-pikir apa yang dia katakan sama sekali tidak salah. Rasanya seperti alam bawah sadarku mengambil alih lebih banyak dari yang aku kira. Namun….

"Tapi aku lebih suka melukismu Soni."

"Kau boleh melukisku kapan saja, gratis. Tapi bukan berarti itu satu-satunya hal yang bisa kau lakukan. Dunia ini berisi banyak hal karena satu hal saja akan membuat kita bosan. Aku percaya lebih banyak variasi akan lebih baik untukmu. Tak mungkin kan kau memilih berdiam di rumah 24 jam hanya untuk melukis?"

"Aku tak keberatan dengan itu."

"Sekarang kau bisa mengatakannya tapi aku, sebagai orang yang melihat semua yang kau lukis, tahu kalau kau sudah suntuk. Kau butuh refreshing, kau butuh healing, berkurung di kamar ini sama sekali tidak bagus untukmu."

"Kau mulai terdengar seperti kakakku."

Tapi dia menyampaikan poin yang masuk akal, kapan terakhir aku punya waktu untuk bersantai selain di sini? Rumah, kerja, dan rumah sakit. Sudah sebulan ini rutinitasku hanya berputas di tiga tempat. Ohh, dan supermarket juga.

Tanpa kusadari, duniaku menjadi benar-benar sempit. Awalnya aku kabur dari rumah untuk membebaskan diri, tetapi ternyata aku malah memerangkap diri sendiri dan karenanya satu guncangan cukup untuk meruntuhkan rasa nyaman dari dunia kecilku.

Apa aku… memang selemah itu?

"Kurasa… aku mau makan sekarang."

"Oke, akan kusiapkan."

Hujan tak menunjukkan tanda akan berhenti tapi Soni tak segan keluar dari selimut untukku. Aku bangkit menyusulnya, mengambil kopi sachet dan menuangkan air panas. Aku sudah tidur seharian jadi aku tidak merasa bisa tidur lagi.

Selesai membuatnya, aku tidak langsung minum melainkan menatap kopi hitam itu sembari memikirkan hal yang konyol. Jika negatif dikali negatif menjadi positif, apakah pahit dikali pahit bisa menjadi manis? Sungguh pemikiran yang konyol, tetapi memikirkan itu menciptakan senyuman kecil di bibirku. Perlahan aku pun menyesap kopi itu sedikit dan tertawa. Rasanya tetap saja pahit.

"Belum pernah aku melihatmu tertawa, ini pemandangan yang langka."

Soni meletakkan sepiring nasi di depanku dan tanpa takut aku melahapnya dengan bernafsu. Baik nasi, sayur, dan daging yang Soni masak semuanya bergizi dan dibumbui dengan penuh perhatian, akan aneh jika rasanya pahit.

Dan karena itulah, tak ada sedikit pun rasa pahit dalam piring ini. Racun dalam pikirankulah yang membuat semuanya pahit.

"Besok, aku ingin jalan-jalan ke… aquarium," ucapku di sela-sela kunyahan.

"Tidak boleh. Sonia bilang kau harus biarkan kasusnya mereda dulu."

"Hmm, okay. Tiga hari lagi aku ingin ke… Central Park, ada diskon di hari Minggu."

"Ide bagus. Kuharap kau bersena—"

"Kau ikut denganku."

"… Ha?"

"Kau ikut denganku Soni. Mari kita jalan-jalan."

Tiga hari lagi, akhir pekan, aku akan kencan dengan Soni.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang