Beberapa hari setelahnya merupakan hari-hari tersuram dalam sejarah perusahaan RxG. Detk berganti menit aku selalu melirik ke sebelahku, ke arah kursi yang biasanya Ryan duduki. Sudah beberapa hari kursi itu kosong dan mungkin masih tidak akan berpenghuni dalam beberapa hari ke depan.
Berita tentang meninggalnya istri dan anak Ryan tengah menyelimuti seluruh kantor dengan selubung duka. Ryan adalah sosok yang baik. Sedikit narsis, tapi perhatian dan juga menyenangkan. Selama sembilan bulan dia terus saja menyanyikan tentang kehamilan istrinya, tak ada yang menyangka ujung ceritanya akan seperti ini.
"Ni orang semua kenapa ya? Kayak ada yang meninggal aja."
Tanpa aku sadari seseorang telah memasuki ruang serbaguna dan seenaknya duduk di kursi Ryan. Cih, Viktor rupanya. Tonjok tidak ya? Tonjok tidak ya? Ahh, dia masih baru, dia tak mengerti apa-apa.
"Kau ada perlu?" tanyaku singkat.
"Bukan sama kau."
"Terus?"
"Sama si om-om sales Indihome."
Rasanya tanganku seperti bergerak begitu saja. Yang kusadari berikutnya hanyalah Viktor yang sudah tersungkur ke lantai berkat pukulanku di wajahnya. Aku melakukannya dengan begitu spontan dan kemarahan dalam hatiku tak menyiskaan ruang untuk menyesal.
"KAU NYARI RIBUT YA?!"
Teriakannya kuanggap sebagai pertanda perang dan dia juga sudah siap untuk berkelahi, tetapi sebelum kami berdua bisa saling menyentuh sepasang tangan besar nan kokoh mencengkram leher kami dan memisahkan kami secara paksa.
"STOP! STOP! KALIAN INI NGAPAIN?!"
Teriakan menggelegar dari Boss mengundang perhatian semua orang sehingga segera saja kami dipisahkan oleh lautan manusia. Aku dipaksa berlutut dengan dua orang menarik tanganku dari belakang dan Cecile, dengan penggaris panjang yang biasa dipakai oleh guru matematika, menjitakku tepat di kepala. Kenapa aku malah diperlakukan seperti narapidana?
"Kau ini ngapain sih? Apa otakmu nggak dipakai lagi? Perlu kucabut otakmu terus kusumbangkan ke Frankenstein?"
"Dia yang mulai duluan!"
"Kau yang mulai duluan dasar Tangan Arang!" Terdengar suara Viktor dari kerumunan yang lain.
"That's enough. Aku dengar kok kalian ngomong apa dan dua-duanya salah. Shade, you apologize first. Viktor itu masih bocah, jangan keras-keras dengannya."
"Siapa yang bocah oi?! Lagian Id-ku itu Vector."
Aku jadi merasa malu sekali karena bertengkar dengan seorang bocah. Boss benar, aku terlalu emosian dan itu memalukan untuk umurku.
"I am sorry Viktor."
"Vector!"
"Iya iya, Vector."
Kerumunan menghembuskan nafas lega dan Boss mengambil kesempatan itu untuk berpidato di hadapan semua orang.
"Okay guys, apa yang terjadi dengan Ryan adalah duka besar for all of us. Tapi, seperti yang selalu Ryan katakan, the most important point is not to give up. Kita semua sedih, itu sudah pasti tapi kita akan sambut Ryan seperti biasa saat dia kembali nanti. Semangati dia, tunjukkan bahwa matahari yang cerah masih bersinar."
Setelah ucapan penuh motivasinya Boss pun menyuruh kami semua kembali bekerja. Aku sendiri sudah menyelesaikan kuota untuk hari ini jadi aku ingin meminum sedikit kopi di lantai satu sebelum pulang. Anehnya, Cecile memilih mengikutiku.
"Aku masih nggak percaya," ucapnya lesu saat kami sudah duduk dengan secangkir kopi di tangan. Cecile sudah melepas sikap profesionalnya dan aku tahu dia juga berduka. Dia mungkin tidak menyukai beberapa sifat Ryan tapi Ryan adalah orang yang sulit untuk dibenci.
"Itulah yang disebut hidup. Tak ada yang tahu ke mana arahnya."
Saat ini Ryan pasti dalam keadaan super depresi. Pertama dia akan menganggap semua hanyalah mimpi lalu saat dia sadar dia akan mencoba untuk lari. Aku sudah merasakan itu… aku masih merasakannya. Kehilangan seseorang yang paling berharga bagimu adalah cobaan terbesar yang akan menjatuhkan siapa pun menuju jurang terdalam.
"Ngomong-ngomong kau masih ingat nggak, dulu kau dan Ryan ngobrol tentang nama anaknya?"
Nyaris saja aku tersedak. Pembicaraan itu rasanya sudah lama sekali tapi kenyataannya itu baru terjadi sekitar satu bulan yang lalu.
"Gimana ya? Nggak mungkin kan kau minta dia menamai anaknya 'Cecile' kalau kondisinya begini?"
"Aku nggak minta kok." Cecile menggelengkan kepalanya yang cantik. "Lagian aku tau kalian cuma main-main. Yang aku penasaran itu, kalau seorang anak meninggal di kandungan, apa dia perlu diberi nama? Perlu kan?"
Aku paham apa yang Cecile maksud. Saat kami menghadiri pemakaman kemarin, batu nisan anak malang itu tidak bertuliskan apa-apa, sebuah batu nisan yang kosong. Mungkin Ryan terlalu syok untuk memikirkan sebuah nama. Kalau dipikir-pikir aku tak melihat Ryan saat pemakaman. Tunggu dulu, kapan terakhir aku melihat Ryan?
"Keluarganya bilang dia mengurung diri di kamar," jawab Cecile seolah bisa membaca pikiranku. "Menangis, menolak makan, tak mau bertemu siapa pun. Jujur aku cemas sekali, jadi… bisa kau jenguk dia? Setidaknya pastikan dia makan teratur."
Menanggapi permintaan itu aku mengangguk secara alami. Karena pernah mengalami hal serupa maka akulah yang paling mengerti keadaannya dan karna itu juga aku tahu dia tak boleh sendirian.
Dalam perjalanan menuju rumah Ryan, aku mau tak mau teringat akan Soni, teringat saat di mana dia berdiri di atas pagar balkon dan bersiap untuk melompat. Jika… jika saja saat itu aku tak ada di sana untuk menjadi temannya apakah dia akan mengulang hal yang sama? Akankah dia benar-benar melompat?
Pemikiran itu membuatku sangat risih. Tanpa sadar aku mempercepat langkahku dan saat tiba di rumahnya pintu depan tertutup rapat. Aku pernah beberapa kali datang bertamu dan aku tahu Ryan menyembunyikan kunci cadangan di pot bunga. Bunga di pot itu sudah layu sekarang.
Aroma tak sedap langsung menyambutku di dalam rumah, aroma makanan basi. Well, aku bersyukur setidaknya dia makan. Kucoba memanggilnya sekali tapi tak ada jawaban, ponselnya juga tidak aktif jadi aku langsung naik ke kamarnya.
"Ryan, kalau kau di dalam cepat keluar."
Aku mengetuk pintu kamarnya. Awalnya pelan lalu semakin keras tapi tetap tak ada jawaban. Apa dia tidur?
"Ryan! Kuhitung sampai tiga…."
Dan kemudian pemandangan beberapa bungkus makanan yang diletakkan di depan pintu menyadarkanku. Beberapa orang pasti datang untuk setidaknya membawa makanan untuknya tapi tak ada tanda bahwa makanan-makanan itu telah disentuh dan jumlahnya pasti cukup untuk makan dua hari penuh. Kebanyakan orang memang akan merasa iba dan memberinya waktu untuk menangis sendirian sehingga tak ada tanda-tanda bahwa seseorang berhasil masuk untuk menemui Ryan. Tapi… bagaimana kalau….
Aku tak jadi menghitung sampai tiga melainkan langsung menendang pintu hingga terbuka. Namun, sudah terlambat. Sudah terlambat. Kakinya yang melayang tiga puluh senti di atas lantai tidak akan pernah bergerak lagi.
Dengarkan baik-baik Nak, kita akan selalu kehilangan sesuatu tapi di sisi lain kita akan mendapat hal lain sebagai gantinya. Semangat, oke?
Di setiap kesulitan pasti ada jalannya. Kualitas paling penting yang dibutuhkan oleh seseorang adalah pantang menyerah, cuma itu kuncinya.
Ryan, untuk seseorang yang suka mengucapkan kata-kata bijak, kau mati terlalu mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...