Kohabitasi

5 2 0
                                    

Begitu aku membuka pintu Soni menatapku dengan laptop yang terbuka di atas meja. Aku menyapanya seolah kunjunganku bukanlah sesuatu yang spesial dan kembali mengunci pintu. Sistem keamanan mereka agak menjengkelkan tapi ini sesuatu yang wajar dan memang diperlukan.

"Kau sedang apa?"

"Bukan apa-apa," jawabnya sembari buru-buru menutup aplikasi yang dia gunakan. Aku bisa membaca sekilas apa isinya tapi tampaknya itu sama sekali bukan 'bukan apa-apa'.

"Shade belum pulang?" Soni menggeleng. "Yah, kalau begitu bagiannya untukmu saja. Makanlah Soni, es krim yang meleleh rasanya menjijikkan."

Kusodorkan kantongan plastik itu padanya dan dia berterima kasih, matanya berbinar-binar begitu indah. Kurasa aku paham mengapa adikku tergila-gila dengannya.

"Ini apa?" tanyanya dikala membongkar isi kantong plastik. Aku memang membeli banyak barang selain es krim.

"Itu kondom."

"Kon… dom?"

Soni memutar kotak kecil itu di tangannya dan setelah membaca bagian belakang kotak dia langsung menjatuhkan kotak itu dengan gelagapan. Ya ampun, lucunya. Ekspresinya itu persis seperti gadis suci yang baru pertama kali menonton film porno.

"Itu benda yang wajib bagi pasangan suami istri. Kau harus terbiasa dengan itu."

"Tapitapitapitapi—"

"Waktunya pasti tiba," tambahku mengabaikan gagapnya. Dari ekspresi Soni dapat kusimpulkan mereka belum melanggar batas. Jujur saja aku heran dengan adikku itu. Kalau aku ada di posisinya aku pasti akan mencumbu Soni setiap hari, dari malam sampai pagi. Sampai siang kalau bisa. Bagaimana caranya dia bisa menahan semua godaan itu di umurnya sekarang? Dia pasti manusia suci.

Maksudku, coba lihat Soni? Apa ada laki-laki yang bisa menolak wajah cantik lugu dengan payudara besar yang bahkan membuat wanita sepertiku merasa terpesona? Hanya pria dengan kelainan saja yang akan menolaknya.

Ngomong-ngomong, Setelah mengamati dari dekat Soni memang benar-benar mirip dengan ibunya.

"Ngomong-ngomong Soni, kau ini sebenarnya berasal dari mana?"

Dia langsung salah tingkah mendengar pertanyaan itu dan insting reporter yang kukembangkan selama tiga tahun ini mengambil alih.

"Jangan-jangan Shade juga tak tahu ya?"

Soni menatap langit-langit, sendok es krimnya terhenti di tengah udara.

"Tidak, dia tidak tahu."

"Dan kau tak mau memberitahunya?"

"…. Tidak. Kalau dia tidak bertanya aku tidak akan cerita."

Kukira dia cuma gadis lugu, ternyata dia punya sifat keras kepala juga. Jadi, apakah adikku akan menanyakan hal itu? Tidak, kurasa tidak. Dia itu orang yang cuek pada banyak hal.

"Dan bagaimana kalau aku yang bertanya?"

Soni terdiam cukup lama. "Tolong jangan menanyakannya," jawabnya kemudian.

"Err… begini Soni. Sebagai seorang kakak aku tak mungkin membiarkan adikku dekat-dekat sesuatu yang berbahaya…"

"Aku tidak berbahaya!" serunya panik. "Aku janji, aku tak akan lakukan apa pun yang dilarang. Aku juga akan lakukan apa pun yang kau mau."

"Apa pun? Kalau kuminta kau menyerahkan ginjalmu bagaimana?"

"Ambil saja."

Waduh, anak ini benar-benar serius. Semakin lama aku jadi semakin tak mengerti, sebenarnya dia ini punya sifat seperti apa? Apa dia lugu? Bodoh? Pintar? Takut? Berani? Terlalu banyak hal yang bercampur dalam dirinya, seolah-olah dia memiliki kepribadian ganda. Kalau menurut Rui sih ini pertanda seseorang yang punya pengalaman traumatis.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang