Apa aku harus pulang?

3 1 0
                                    

"Kurasa aku dan dia tidak cocok."

Amir menghembuskan napas berat yang membuat suasana di ruang serbaguna menjadi sedikit lebih kelam. Aku, yang sudah bersiap untuk pulang, terpaksa menaruh kembali tasku di meja dan duduk untuk mendengarkan curhatannya. Hanya ada kami berdua di ruangan ini karena pegawai lain sudah pulang terlebih dahulu. Well, ada Viktor juga disini tapi dia merupakan penghuni tetap yang tak pernah pulang ke rumah. Mungkin dia tidak punya rumah.

"Memangnya kau dan dia kenapa?"

"She is… well, not so good berbicara. We have a dinner, but dia selalu melihat ponselnya. I mencoba memancing her attention tapi dia tidak tampak tertarik."

"Mungkin dia punya selingkuhan," celetuk Viktor dari bawah meja.

"Yeah… kurasa dia menolak perjodohan ini," balas Amir pesimistik.

Aku benar-benar tak tahu harus bilang apa. Aku belum pernah dijodohkan dan setiap perempuan yang pernah dekat denganku tak punya kebiasaan tak sopan dengan mengabaikan lawan bicara. Permasalahan Amir adalah masalah kompleks yang tak bisa kuselesaikan dengan pengalamanku, jadi aku harus gunakan pengalaman orang lain.

"Tell me Amir, kalian makan di mana?"

"Aku pesan tempat di restoran barbeque. Why?"

"Apa dia memang suka makan daging?"

"… I don't know. But, dia nggak ngeluh kok."

"Mungkin aja dia sebenarnya nggak suka, atau mungkin dia lagi diet, tapi kau memilih tanpa persetujuannya. Wajar kalau dia nggak ngeluh karena kau udah pesan tempat dan pastinya uang yang kau keluarkan nggak sedikit. Singkatnya kalian cuma kurang terbuka satu sama lain."

"Atau dia sebenarnya suka makan daging tapi karna nggak mau disebut rakus dia mengalihkan pandangan ke smartphone," celetuk Viktor lagi, kali ini ucapannya ada benarnya.

"Is that… so?"

"Entahlah, kau harus tanya langsung ke dia. Atau, coba cari segala macam kesukaannya. Kau bisa stalking sosmed-nya, tanya orangtua atau teman-temannya. Seperti kata Sun Tzu, kenali dirimu, kenali lawanmu, dan kau tak akan terkalahkan dalam seribu medan perang."

Amir tampak terpana, padahal yang kukatakan itu hanya satu bagian dari novel yang dibuat Soni. Apakah itu akan berhasil atau tidak, semua itu bergantung pada tunangannya. Kalau dia memang tak ingin dijodohkan maka semua quote motivasi ini tak akan lebih dari tulisan-tulisan di dinding toilet.

"Kamu jenius Shade," kata Amir dengan mata berbinar seolah aku baru saja menyampaikan wahyu yang setingkat dengan ayat kitab suci. "Okay, I Will invite her to a date sekali lagi."

"Dan satu saran lagi, jangan pakai bahasa campur-campur macam itu. Berbicaralah layaknya pria, cerdas dan pantas. Kalau kau masih ragu akan kukirim link sebuah webnovel, buka chapter lima dan di sana kau akan menemukan seorang dukun yang mencoba mengencani perempuan yang kerasukan hantu. Good luck!"

Dari sudut pandangku jelas Amir sangat menyukai tunangannya, jika tidak dia tak akan bersusah payah. Aku jadi ingat saat dulu pdkt dengan Cecile, aku diam-diam membuntutinya setiap pulang sekolah untuk mengetahui tempat-tempat favoritnya. Kalau aku mencoba melakukan itu sekarang maka aku pasti akan dianggap stalker.

"Mau pulang?"

Di lobi aku melihat Cecile tengah mengobrol dengan Luna. Cecile menghentikan percakapan mereka untuk menyapaku dan Luna melirik kami berdua bergantian dengan ketertarikan tinggi.

"Iya, tapi aku mau belanja dulu. Sayur dan ikan dan semacam itu."

"Oh?! Sejak kapan kau memasak makananmu sendiri?"

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang