Malam pun tiba

31 4 0
                                    

"Kau mau masak apa?"

"Telur dan … mungkin sedikit tumisan."

"Aku tak punya sayur. Hanya nasi dan … telur. Dan mi instan tentunya."

Kedua bola mata Soni melirikku dengan tatapan kasihan. Aku sendiri paham betapa mengerikannya sumber nutrisiku. Akhirnya dia pun merebus dua bungkus mi instan sementara aku duduk tenang di kursi, melamun menatap langit yang kali ini tanpa bulan.

"Selesai, kujamin rasanya enak."

Aku cukup yakin rasa mi instan tak akan ada bedanya tak peduli siapa pun yang membuat, terlebih ini hanya mi instan polos tanpa bumbu lain maupun sayur pelengkap. Aku tidak mengeluh, bagiku selama mengenyangkan itu sudah cukup.

Sekali lagi keheningan menyelimuti kegiatan kami, hanya ada suara garpu yang beradu dengan piring dan sesekali suara gelas yang diletakkan kembali ke atas meja. Selama makan pikiranku terus melayang pada lukisan yang tadi kubuat dan itu membuatku merasa kenyang hanya dengan tiga suapan. Di seberang meja Soni secara ajaib sudah menghabiskan seluruh isi piringnya dan kini tengah memandangi mie ku dengan ekspresi lapar.

"Boleh untukmu," ucapku sembari mendorong piringku kearahnya, membuatnya benar-benar salah tingkah.

"Umm, nggak apa-apa nih?"

"Tak masalah. Aku juga nggak nafsu makan."

Dengan pipi yang memerah Soni pun menarik piringku dan mulai menghabiskan isinya dengan cepat. Aku mengamati setiap gerakan yang dia buat dan merasa takjub saat dia menghabiskan semua mie itu kurang dari tiga menit. Yang lebih mengerikan lagi, dia masih belum terlihat kenyang.

"Umm… bo-boleh aku minta nasi?"

Pelan-pelan aku mengangguk mengiyakan. Dengan masih malu-malu Soni mencampurkan nasi yang dia ambil dengan sisa kuah mie dan menghabiskan semuanya tanpa sisa. Ya Tuhan, dia makan banyak sekali tapi tubuhnya begitu kurus, ke mana semua makanan itu pergi?

Tanpa sengaja pandanganku turun ke buah dadanya. Oh, ke situ rupanya.

"Bi-biar aku yang cuci piring," ucapnya dengan wajah yang tak kalah merah dari tomat. Jujur saja, jika setiap kali dia makan butuh tiga piring untuk membuatnya kenyang maka aku tak yakin isi dompetku bisa bertahan lama.

"Maaf merepotkan," ucapnya segera setelah dia mencuci piring, "itu makanan pertamaku setelah tiga hari jadi aku benar-benar lapar."

"Tiga hari? Apa ini semacam diet atau kau mencoba bunuh diri dengan mogok makan?"

"Aku … tidak punya apa pun untuk dimakan."

Kepalanya yang tertunduk akhirnya membuatku paham. Dia yang diusir, penampilan yang tidak terawat, sampai usahanya untuk bunuh diri tampaknya berakar pada satu masalah, uang. Entah bagaimana aku bersyukur dia tidak punya uang, jika punya maka kami mungkin tidak akan duduk berhadap-hadapan seperti ini.

"Anak malang," bisikku tanpa sadar. Bahunya gemetar mencoba menahan tangis jadi aku bangkit dan menepuk kepalanya pelan. "Tenang, kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau."

Rambutnya sungguh kering dan kasar, kira-kira kapan terakhir kali dia keramas? Aku pun menyuruhnya untuk mandi dan sementara itu aku mencari-cari segala yang kupunya untuk melapisi lantai agar dia punya tempat untuk tidur. Seprai, selimut, dan bantal, kurasa ini cukup.

"A-aku selesai."

Mulutku menganga. Dengan rambut kusut dan kulit kusam saja Soni sudah benar-benar cantik, tapi sekarang penampilannya yang sudah membersihkan diri bahkan menyaingi model-model dari Timur Tengah.

Bagaimana cara mendeskripsikannya ya? Menurutku rambut basahnya yang menempel ke jubah mandi itu tak kalah indah dari air terjun Niagara. Lukis, benar, aku harus melukis itu.

"Diam di tempat, jangan bergerak!"

Entah mengapa dia mengangkat kedua tangannya dalam posisi seseorang yang ditodong menggunakan pistol. Aku kembali mengambil pensilku dan setelah ingat bahwa kanvasku sudah habis aku mengambil buku tulis dan melukis apa yang kubisa ke dalamnya. Kutajamkan penglihatanku, membayangkan tetesan air mengalir dari ubun-ubun menuju ujung rambut dan kemudian terserap oleh kain.

"Indah sekali."

Soni adalah sumber keindahan yang tak akan pernah kering dan karena itu membiarkannya tinggal bersamaku sama sekali bukan sesuatu yang merugikan. Aku bisa merasakan obsesi itu terpompa ke setiap pembuluh darahku, tapi ternyata tindakan itu menciptakan ekspresi ketakutan di wajah Soni.

"Maaf membuatmu tak nyaman. Aku cuma … kau sangat cantik."

Layaknya bunga yang layu dengan cepat, semakin cantik sesuatu maka semakin cepat itu akan hilang. Karena itulah orang-orang selalu ingin mengabadikan kecantikan itu agar bisa bertahan lebih lama sehingga orang-orang di masa depan dapat melihatnya juga. Itulah hal yang dilakukan setiap seniman di dunia dan aku tidak berbeda, aku hanya ingin mengabadikan kecantikan yang kulihat saat ini karena tak ada jaminan aku bisa melihatnya lagi.

"Kamu orang yang aneh," bisik Soni pelan saat dia duduk di tempat tidur dadakan yang kubuat, "kamu pasti sangat suka melukis sampai-sampai punya kebiasaan aneh begitu."

"Maaf kalau aku aneh. Kau mau langsung tidur?"

Kata terakhir itu seperti menggantung di udara.

"I-iya," jawabnya gugup.

"Akan kumatikan lampunya."

Saat lampu dimatikan seluruh ruangan berubah gelap. Ada sedikit penerangan dari cahaya-cahaya di luar sehingga aku bisa menangkap kilasan gerakan yang Soni lakukan saat dia menyesuaikan posisinya. Setelah itu, tak ada apa pun yang terjadi. Aku bisa mendengar suara nafasnya yang berat, tapi itu tidak merubah apa pun. Aku masih tidak bisa tidur.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang