Telanjang

6 1 0
                                    

"No good. No no no no no no NO!"

Setiap kata 'no' itu disertai dengan gelengan kepala dari Pak Ramli. Aku sudah duduk selam satu jam dan sudah satu jam pula Pak Ramli mengatakan no. Sebenarnya apa yang salah dari lukisanku?

"Nope. Ini bencana buruk Shade, malapetaka."

Dengan napas berat Pak Ramli mendorong kembali semua lukisan itu ke arahku. Aku merasakan gelombang kekecewaan tapi anehnya kekecewaan itu nyaris tidak menggangguku. Bagaimanapun, aku sudah merasakan itu selama seminggu penuh.

"Memangnya apa yang salah, Pak?"

"Secara kualitas gambar sih tidak ada masalah, tapi yang paling penting itu isinya. Shade, apa kau sedang bermasalah dengan dewimu?"

"De… wi?" Butuh waktu sampai aku mengerti apa maksudnya. "Aku… entahlah, sulit dijelaskan."

"Jelas ada masalah," balas Pak Ramli cepat. "Di lukisanmu sebelumnya saya bisa merasakan cinta, tapi di sini jelas objek lukisanmu sama sekali tidak memperhatikanmu. Lihat matanya, seolah-olah dia tengah memikirkan hal lain. Jiwanya sedang tidak berada di sana Shade, karena itulah lukisan ini terasa kosong."

"Jiwa…."

"Dan yang paling parah, mengapa lukisan-lukisan terbarumu jadi lebih banyak melukis punggung? Apa dewimu ini menjauhimu?"

Untuk pertanyaan itu, aku juga ingin tahu jawabanya. Soni sibuk, tapi apa dia benar-benar menjauhiku? Dari situs online tempatnya menulis novel aku memang bisa melihat bahwa dia benar-benar aktif, tetapi apakah itu menjadi alasan untuk tidak saling menyapa? Mungkin, Soni memang sengaja menjauhiku.

"Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku," bisikku sebagai balasan. "Dan kurasa itu bukan karena dia membenciku."

"Dan kau tidak tahu apa itu. Seperti biasa, lukisanmu masih abu-abu."

Aku masih belum tahu siapa Soni. Meski dia bercerita sedikit tentang masa lalunya tapi aku tidak menganggap itu sebagai hal yang penting. Itu semua hanya bagian dari masa lalu sedangkan Soni yang tinggal bersamaku sekarang tetaplah abu-abu. Misterius dan tertutup. Kalau dipikir-pikir aku bahkan belum tahu makanan kesukaannya.

"Ternyata… melukis itu masih benar-benar dalam ya?" tanyaku.

"Tentu saja. Kalau ada yang bilang melukis itu cuma sekedar coret-coret maka tampar saja hidungnya. Para seniman di masa lalu menyampaikan apa yang ada di pikiran mereka melalui lukisan, bisa dibilang lukisan adalah salah satu cara untuk berkomunikasi bagi mereka yang mengerti. Ini bukan masalah harga, tak juga selalu masalah kualitas, yang terpenting adalah apa yang hendak kamu sampaikan dengan lukisanmu."

Aku merasa Pak Ramli baru saja mengatakan sesuatu yang dalam, tetapi aku belum bisa memahami semuanya. Menyadari kebingunganku Pak Ramli pun kembali menambahkan;

"Shade, lukisanmu menunjukkan seberapa penting objek lukisanmu sampai kau ingin mengabadikannya. Kau mencintainya, kau mengaguminya, kau ingin memamerkan keindahan di balik setiap senyumnya pada dunia. Karna itu jika objek lukisanmu tidak tersenyum maka semua yang kau lukis ini tidak ada artinya."

"Tapi… bukannya itu artinya aku tak bisa melukis apa pun selain dia?"

Pak Ramli terdiam untuk sesaat dan kemudian nyengir lebar.

"Shade, apa menurutmu Leonardo da Vinci sanggup melukis roket luar angkasa dengan indah? Tidak, dia bahkan tak tahu apa itu roket, tapi beliau bisa mempelajarinya. Mungkin butuh satu atau malah sepuluh tahun, tapi jika dia terus belajar maka dia akan bisa melukisnya dengan indah. Kita pun sama Shade, kita mempelajari sesuatu, mendalaminya, melukisnya dengan baik, lalu kembali belajar. Hidup ini hanyalah satu lingkaran yang terus berulang-ulang dan jika kau berhenti maka dunia ini tak akan berputar lagi untukmu. Singkatnya, nikmatilah proses. Cepat atau lambat kau pasti akan menemukan objek baru."

"Objek baru? Sama sekali tidak terpikirkan olehku."

"Tidak masalah, kau masih muda, masih punya banyak waktu. Namun," tambahnya dengan lebih tegas, "meski kau tetap memilih berdiam di satu objek pastikanlah lukisanmu terus berkembang. Ini sedikit saran dari saya yang pernah kuliah di luar negeri, hanya antara kau dan aku saja, cobalah melukis telanjang."

Aku terdiam mendengarkan, mengira Pak Ramli akan mengoreksi ucapannya tetapi tidak, dia benar-benar terlihat serius.

"Melukis… telanjang?" tanyaku mengkonfirmasi.

"Benar, telanjang. Lukisan telanjang sudah ada sejak lama sekali dan muncul di setiap gerakan seni besar seperti kubisme atau ekspresionisme. Seni telanjang memukau kita karena mengingatkan bahwa semua manusia itu sama, tak ada pakaian maupun perhiasan yang bisa membeda-bedakan kita. Tak peduli seperti apa hidup yang kita jalani, kita semua tetaplah manusia yang terdiri dari daging dan kulit. Jika kau ingin memahaminya, luar dan dalam, maka lihatlah dia dalam keadaan seperti baru dilahirkan. Ahh, ya… aku dan istriku juga dulu begitu."

Aku mendengarkan semuanya, merasa ada sedikit pemahaman yang memasuki kepalaku. Bukan berarti aku sudah mendapat jawaban, hanya saja aku seolah diberi jalan pintas menuju jawaban itu. Jalan pintas yang penuh duri.

"Terima kasih Pak. Bapak… gimana bilangnya ya? Saya bersyukur punya dosen kayak Bapak."

"Sama-sama Nak. Sudah tugas seorang seniman untuk menyampaikan keindahan dunia ini dan saya yakin kamu bisa."

Aku menyalam tangannya dan meninggalkan kampus dengan beban yang lebih ringan di hati. Pak Ramli memberi saran yang benar-benar bagus, tetapi dia tak tahu siapa itu Soni dan bagaimana persisnya hubunganku dengannya. Namun, hidup ini hanyalah satu lingkaran yang terus berulang-ulang. Belajar dan belajar lagi.
Kira-kira, apa ya makanan kesukaan Soni?

***

Sekali lagi, malam hari. Aku berbaring di atas kasur, menatap langit-langit yang dicat sewarna salem pucat. Aku sedang tidak mengerjakan apa pun, hanya menunggu inspirasi untuk datang sembari mendengarkan suara ketikan berisik yang menandakan Soni masih sibuk mengetik. Jam di ponselku sudah menunjukkan pergantian hari, sudah benar-benar waktunya untuk tidur.

Sudah seminggu ini aku menyadari bahwa insomnia yang kuderita sejak ibuku meninggal ternyata masih belum sembuh. Untuk bisa tidur, setidaknya aku harus berbaring di sebelah Soni dan saat ini Soni belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia ingin berbaring di sebelahku.

Dia tengah dalam kondisi luar biasa fokus sampai-sampai suaraku tak bisa mencapainya. Sebenarnya sepulang dari kampus aku memiliki niat untuk mengajaknya berbicara, tetapi niat itu hilang saat melihat semangatnya yang nyata.

Aku sadar bahwa aku sudah mengurung Soni selama ini dan akan amat kejam baginya jika aku merampas sesuatu yang amat dia sukai. Aku merasa tidak enak, mungkin juga merasa bersalah. Tapi di atas semua itu, aku sedih karena dia seolah mengabaikanku.

Tampaknya, orang-orang yang tidak berwajah di internet jauh lebih penting baginya dibandingkan aku.
Aku kesal, kesal pada diriku sendiri karena memikirkan itu.

Akhirnya aku mengangkat bantal dan selimut lalu berbaring di lantai, persis di sebelah kursi yang Soni duduki. Tampaknya tindakan itu cukup untuk membangunkan Soni karena dia menatapku kebingungan.

"Kamu kenapa?"

"Mau tidur," jawabku pendek. "Nggak ganggu kan?"

"… Nggak."

Dia kembali menghadapi laptopnya sementara aku bisa merasakan kantuk mendatangiku. Ternyata berdekatan dengan Soni memang kuncinya. Meski posisi tidur ini agak aneh dan sedikit dingin, aku tidak keberatan. Tunggu sebentar, apa memang normal jika aku tidak keberatan? Kurasa tindakanku saat ini sama saja dengan bocah-bocah bucin yang sering kutertawakan di internet.

"Soni."

"Hmm?"

"…. Jangan lupa makan."

Soni tidak menjawab dan aku pun tidak mengharapkan jawaban. Aku berbaring miring, menatap kaki Soni yang menyentuh lantai. Aku cukup jarang memperhatikan kakinya, tapi dia punya kaki yang bagus. Jari-jemari, mata kaki, dan betisnya tampak begitu pas. Apa berat badannya naik selama dua bulan ini?

Apa pun itu, aku masih merasa senang dia ada di sisiku.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang