Keesokan harinya aku memaksakan diri berangkat kerja. Dua hari tanpa tidur ternyata tidak membuat kepalaku terasa berat, sejujurnya aku malah merasa cukup sehat sehingga bisa melakukan pekerjaanku. Kedua tanganku terus bergerak tanpa perlu disuruh dan rasanya sungguh melegakan, aku senang akhirnya bisa mengalihkan pikiranku dari kesedihan.
Video promosi yang kubuat hampir selesai, hanya perlu menunjukkannya dan meminta pendapat beberapa orang lalu mengeditnya jika ada yang dirasa kurang. Setelah itu, tugasku selesai.
Tugasku selesai…. Pemikiran itu membuatku takut.
Aku benar-benar tak tahu apa yang mendorongku untuk terus melakukan ini. Mungkin aku hanya mencari-cari alasan, menunda sebuah keputusan. Atau mungkin… aku hanya sekedar takut. Rasanya seperti melangkah di jalan gelap yang ujungnya tidak bisa terlihat. Jika aku tidak melangkah maka aku akan menjadi gila dengan semua kegelapan ini, tetapi jika aku melangkah aku takut akan menemui sesuatu yang lebih buruk.
Layaknya memakan buah simalakama, aku tak tahu mana yang harus aku pilih.
"Oi, videonya selesai?" tanya Viktor yang tengah berbaring di lantai.
"Hmm… sudah."
"Sini kulihat."
Aku mengirim video tersebut melalui e-mail lalu menjatuhkan diriku ke lantai, mencoba tidur meski tahu itu tak mungkin.
"Terlalu biasa," cibir Viktor sinis. "Di mana dada dan bokong yang kupesan?"
"Bukannya kau masih terlalu muda untuk membuka konten delapan belas plus?"
"Siapa bilang? Umurku sudah tiga puluh tahun dua bulan lagi."
"Ohh ya ya, terserahlah."
Aku hanya mencatat saja kritik Viktor tanpa berniat memperdulikannya. Kira-kira siapa lagi yang bisa memberikan sudut pandang objektif?
"Cecile, kau punya waktu?"
"Semua orang punya waktu Shade, kau butuh berapa lama?"
"Entahlah, lima menit."
Kuminta dia ke ruang serbaguna agar dia bisa melihatnya langsung di komputer. Durasi video itu sendiri tidak sampai tiga menit tapi rasanya sungguh melelahkan menunggu Cecile menontonnya sampai habis jadi aku kembali berbaring di lantai. Saat itulah aku sadar bahwa lantai kantor ternyata bisa terasa begitu nyaman.
"Kau sakit ya?" tanya Cecile dengan wajah menatapku secara vertikal dari ketinggian seratus tujuh puluh senti.
"Aku biasa saja, tidak sakit dan tidak luar biasa."
"Matamu tampak seperti ikan mati yang mengambang di kolam limbah. Video yang kau buat juga sama seperti bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima. Getarannya terasa, tapi tidak menyenangkan."
"Pilihan kata-katamu terlalu membingungkan. Intinya apa?"
"Intinya… aku tau kau bisa buat yang lebih bagus, aku yakin itu."
"Yep, tambahkan lebih banyak belahan dada," celetuk Viktor.
"Apa kau tak bisa tidak mengatakan sesuatu yang kotor untuk satu hari saja?" Cecile mendesis jijik. "Aku mulai muak dengan gaya bicara abg macam kau."
"Sudah kubilang, umurku tiga puluh—"
"Lagian apa maksudnya belahan dada? Kau mau perusahaan ini didemo kaum fanatik agama di luar sana?"
"Kaum fanatik agama tidak bermain game, setidaknya tidak terang-terangan. Yang membeli game ini nantinya adalah kaum gamer yang sudah terbiasa dengan semua itu. Mereka menyukainya, itu fakta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...