Bagi seluruh pekerja di perusahaan ini (dan mungkin juga di semua perusahaan dunia) menginap di kantor adalah hal yang tidak terlalu aneh. Alasannya bermacam-macam mulai dari banyak pekerjaan, banyak pekerjaan, banyak pekerjaan atau banyak pekerjaan. Intinya, hanya orang yang banyak pekerjaan saja yang harus menghabiskan malam di kantor.
Sejujurnya aku sama sekali tak ingin lembur, biasanya aku selalu membawa pekerjaanku pulang tapi pekerjaan kali ini menuntutku untuk terus berkonsultasi dengan Viktor jadi akhirnya aku memilih menghubungi Soni untuk menyampaikan kabar duka tersebut.
"Tidak… pulang?"
Aku bisa merasakan suaranya bergetar di ujung panggilan. Padahal baru tadi pagi kami bertukar nomor, siapa sangka panggilan pertama kami akan terasa seperti lonceng pemakaman, suram.
"Maaf tapi pekerjaanku di sini benar-benar banyak. Kurasa aku benar-benar harus menginap dan pulang besok malam."
"…."
Hening. Di saat-saat seperti inilah aku sadar bahwa apa yang kukatakan pada Boss tadi pagi memiliki beban yang sangat berat. Meski aku berjanji selalu ada untuknya tapi momen-momen seperti ini dengan mudah mengguncang janji tersebut. Sekarang, apakah kami bisa saling mengerti?
"Tentu, jangan cemaskan aku."
"Kau yakin baik-baik saja?"
"Aku bukan anak kecil lagi."
"…. Ya, kau benar."
Panggilan berakhir sebelum aku sempat memikirkan kata-kata penghiburan. Soni bisa saja mengatakan bahwa dia bukan anak kecil lagi, tapi sebagai pihak yang lebih tua mau tak mau aku terus saja menganggapnya begitu. Tunggu sebentar, apa aku memang sudah setua itu? Soni dan aku hanya beda tujuh tahun, kami masih bisa dianggap kakak-adik.
Tapi untuk sekarang lupakan dulu hal itu, ada tugas yang sudah menanti.
"Udah kubilang jangan pakai efek yang terlalu berkilau. Kau mau player jadi buta?!"
"Ini roknya bisa dipendekin dikit nggak?"
"F*ck your philosophy. Kalau desainnya jelek nggak ada yang peduli sama philosophy."
Oh Soni, aku sangat merindukanmu. Setiap kali aku mencium bau badan si Youtuber dengan lima ratus ribu subscriber ini aku jadi teringat rambutmu yang begitu wangi meskipun kita menggunakan shampo yang sama. Setiap kali aku mendengar teriakan bernada tinggi dari bocah sok pro ini aku teringat suara sumbangmu yang mencoba untuk menyanyi. Setiap kali aku mendengar si Beta Tester ansos ini mendecih aku teringat bibirmu yang lembut.
Oh, aku sangat ingin pulang.
Jarum pendek sudah menunjukkan angka dua ketika seluruh desain selesai direvisi. Meski aku bilang revisi tapi itu hanyalah perbaikan buru-buru yang belum diubah ke bentuk 3D dan dimasukkan ke dalam program. Pekerjaan masih jauh dari kata selesai.
Namun Viktor, yang mengaku tak sanggup membuka matanya lagi, mengambil salah satu sudut ruangan untuknya dan langsung tertidur. Aku sendiri sudah merasa tak sanggup mengontrol getaran tanganku jadi aku menjajarkan beberapa kursi dan berbaring di atasnya.
Lelah… dan lelah. Aku menutup mata, berharap semua rasa lelah itu akan lenyap saat aku bangun. Harapanku terkabul, perlahan aku merasa tubuhku lebih segar yang malah membuatku tidak bisa tidur. Aku berhenti memikirkannya beberapa minggu ini, tapi penyakit insomnia ternyata tak bisa sembuh semudah itu.
Suara tik tik tik dari jam dinding terasa semakin keras setiap detiknya. Aku tetap berbaring, menahan dingin dan juga lapar, hanya bisa menunggu hingga pagi tiba. Rasanya aku sudah berbaring begitu lama, tapi jarum pendek bahkan belum melewati angka tiga.
Akhirnya aku pun mengambil keputusan.Keluargaku sejak dulu tidak termasuk golongan orang kaya sehingga bahkan saat kuliah pun aku tak memiliki kendaraan pribadi. namun di kota besar ini transportasi bisa didapatkan 24 jam sehari. Dengan cepat aku memesan ojek melalui aplikasi dan dalam setengah jam aku akhirnya tiba di rumah.
Rasanya nyaman. Seperti kata pepatah, rumahku istanaku.
Namun saat kulitku menyentuh gagang pintu aku bisa merasakan hawa dingin yang tak ada hubungannya dengan cuaca. Aku menghembuskan nafas berat, membuka pintu dan langsung berhadapan dengan benda hitam yang melayang sejajar dengan pandangan mata.
"Hei, apa kau tidak lelah?" tanyaku kepada benda itu. Aku mencoba menyentuhnya dengan tanganku, tetapu yang aku rasakan hanya sensasi menggenggam udara. Benda itu seolah-olah berada di sana tapi sekaligus tidak di sana. Sungguh makhluk yang tidak bisa dimengerti.
Perlahan-lahan benda itu pun memudar di tengah udara dan hawa dingin abnormal yang sedari tadi memenuhi ruangan mulai menghilang. Aku berbalik dan menyadari Soni berada di kasur, bersembunyi di balik selimut.
"Kau boleh keluar sekarang."
Dengan gerakan lambat kepala Soni menyembul dari balik selimut. Dia tampak mengantuk sekaligus ketakutan dan mungkin karena itulah dia langsung memelukku saking leganya. Aku juga lega melihatnya, tapi gumpalan lemak di dadanya yang menghimpitku ini terlalu berbahaya. Tahan… tahan… seorang pria tak boleh kalah dari hawa nafsu.
"Aku senang kau pulang," bisiknya di telingaku.
"Yah, kurasa kau tak akan bisa tidur tanpaku."
Insomnia adalah penyakit yang misterius. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan obatnya juga bisa bermacam-macam. Dalam kasusku, obatnya adalah tidur di sebelah Soni. Terdengar tidak masuk akal memang tapi inilah kenyataannya. Rasa ngantuk yang tidak datang dengan satu jam berbaring di kantor bisa aku dapatkan dalam satu menit di sebelahnya.
Dan yang terbaik dari semua itu adalah pemandangan indah yang kudapatkan setiap pagi. Wajahnya, wajah yang begitu cantik dan indah. Tidak sekedar cantik, ada sesuatu yang misterius di balik wajahnya. Sesuatu yang hangat dan tidak berujung seolah mengundang siapa pun untuk bermimpi sejauh mungkin. Apa sebenarnya itu? Aku tidak tahu, dan mungkin aku tidak mau tahu. Beberapa hal lebih baik dibiarkan misterius untuk menambah pesonanya.
Wajah Soni yang sedang tertidur adalah harta karun. Aku ingin menikmati itu selamanya tapi panggilan kerja tak berbelas kasihan padaku. Pelan-pelan, selagi Soni masih tertidur, aku mengecup bibirnya pelan sebelum kembali ke tempat kerja. Aku meninggalkan pesan singkat untuknya dan berharap dia tak akan tahu apa yang telah aku lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...