Amir

18 4 0
                                    

"Boss" besar perusahaan RxG adalah seorang pria yang meninggalkan kesan kuat dalam otak. Dia memiliki penampilan tinggi besar berkat darah Rusia yang mengalir dari pihak ayahnya sekaligus kulit putih bening dengan rambut hitam legam khas orang Jepang dari pihak ibunya. Namanya juga tidak kalah unik, Abe Vladimir. Abe yang merupakan marga ibunya dan Vladimir yang merupakan nama pemberian ayahnya, tapi karena kedua nama itu sulit dan tidak familiar kami pun menyingkat namanya menjadi Amir. Sungguh pelecehan besar atas nama presiden Rusia.

"Shaaaadeeeeee~~~~"

Suara yang berat diulur-ulur itu masih belum berubah. Dia duduk di kursinya dengan kaki diletakkan sembarangan di atas meja sementara pemilik kaki itu tengah sibuk memandangi layar tablet.

"Ada apa Bos? Kerjaan baru?"

"Ahh, don’t call me Boss, kayak kita baru kenal aja. Panggil Amir aja is fine."

Kalau harus memilih aku benar-benar tak ingin memanggilnya Amir, tapi entah bagaimana dia tampak menyukai nama itu. Selera orang luar negeri memang aneh-aneh.

"So Shade~ aku tahu kau baru saja berduka cita tapi sayangnya ada… ehh, little problem dengan jadwal kita. Do you know apa yang sebenarnya kamu lakukan sepanjang tahun ini?"

"To be honest, nggak sama sekali. Sebenarnya aku menggambar semua itu buat apa sih?"

"Tentu saja untuk game, kita ini kan perusahaan game. Isn't?"

"Kalau itu aku juga tau. Masalahnya, kita sekarang ngebuat game apa?"

"Tepat! Kalian tak tahu game apa yang kalian buat, but you guys always work so hard. Tenang, hari Jumat nanti kita akan adakan rapat besar untuk menerangkan program kerja kita. Dan karena itu rapat besar so you need to do some extra work. Can you?"

"Well, ada biaya lemburnya kan?"

"Pasti dong. For you, gue udah nyiapin hadiah khusus. Don’t tell anybody, oke?"

Dengan tangan panjangnya dia meraih sebuah bungkusan tebal dari atas lemari dan menyerahkannya padaku. Aku mengangkat bungkusan itu, merasakan beratnya dengan kedua tangan dan mendadak merasa bersemangat.

"Gila, ini buatku? Gratis kan?"

"Of course … no! Itu properti perusahaan."

"Eh kampret!"

Baru saja aku merasa senang karena diberikan laptop spek dewa dan sekarang aku harus menahan godaan untuk membanting laptop itu ke lantai. Sudah lama aku pingin laptop dengan resolusi Ultra HD tapi harganya amatlah tidak bersahabat. Tapi okelah, setidaknya dengan ini pekerjaanku bisa lebih optimal.

"Di dunia ini nggak ada yang gratis," tambahnya lagi. "You boleh pake laptop itu, boleh kamu bawa pulang tapi itu tetap punya perusahaan. Detail tugasmu akan kukirim lewat email jadi selamat bekerja. Bonus besar menantimu Shade."

Dengan bahasa isyarat singkat aku pun dipersilahkan meninggalkan kantornya. Di ruang serbaguna satu aku pun membuka bungkus laptop tersebut yang mana di dalamnya terselip amplop dengan tulisan, "Buat jajan."

Aku nyengir sedikit, kurasa sepulang kerja nanti aku bisa mampir ke toko alat lukis. Inilah hal yang paling kusuka dari Boss, dia orang yang murah hati, tahu bagaimana cara memperlakukan pegawainya dan di atas semua itu dia bukanlah orang yang memberikan tugas yang tidak masuk akal. Yep, dia orang yang baik.

Namun semua opini itu lenyap begitu saja saat membaca email yang dia kirimkan. Hahaha, ingin rasanya aku tertawa. Kok aku kaget ya? Apa karena tadi Cecile mengatakan schedule sedang longgar? Ngimpi! Kalau kerjaannya begini bisa-bisa aku baru akan pulang tengah malam.

Dan beginilah keseharian pekerjaanku. Diberi tugas dan bekerja sampai mata terasa akan copot. Sudah benar-benar waktunya bagi perusahaan untuk merekrut pegawai baru dan meringankan beban pegawai lain, tapi sebuah perusahaan tanpa pencapaian tak akan menarik minat siapapun. Stress yang menumpuk karena duduk terlalu lama di depan komputer selalu membuatku berpikir ingin berhenti, tapi jika aku berhenti aku benar-benar tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Yang kulakukan hanya bekerja dan bekerja.

Saat cahaya matahari berubah jingga aku teringat akan janjiku pada Soni. Tanpa ragu aku mematikan komputerku dan bersiap untuk pulang. Aku tahu aku akan menyesal karena tidak mengerjakan lebih banyak tapi laptop yang Boss berikan harusnya cukup untuk menyicil pekerjaanku dari rumah.

Yang jelas, aku benci pekerjaan ini.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang