Beberapa hari kemudian (aku masih tak bisa mengingat hari) seluruh pekerjaan kami di kantor akhirnya dianggap selesai. Amir menyampaikan pidato yang panjang tentang proyek ini di ruang serbaguna tapi aku tak berniat mendengarkannya. Aku lebih memilih duduk di lobi, meminum kopi sembari mendengarkan rintikan air hujan yang menghantam bangunan perusahaan.
Dan ternyata aku tidak sendiri, Viktor juga memilih melemaskan otot-otot punggungnya dengan berbaring di sofa."Oi Vik, habis ini kau mau pulang?"
"Hmm? Kau manggil Viktor, Fikri, atau Fiqih?"
"Nggak, aku manggil Vinci da Leonardo. Ya kaulah! Siapa lagi orang di sini?"
"Oh, aku? Nggak, aku nginap di sini."
"Kau benar-benar nggak punya rumah ya? Atau cuma karna nggak ada yang nyambut kau di rumah?"
"Kau sendiri gimana?"
Pertanyaan yang dilempar kembali itu membuatku termenung. Kakakku sudah bahagia dengan suaminya sedangkan aku, aku sendirian. Tak ada lagi siapa pun yang menyambutku di rumah dan saat tiba di rumah aku masih harus mencari cara untuk melewati malam karena tak bisa tidur. Kapan terakhir kali aku tidur? Seminggu? Dua minggu? Kurasa aku akan mati jika terus begini.
"Aku sungguh pria yang kesepian."
"Kalau gitu mau aku temani?"
Cengkraman keras di kepalaku membuatku sadar bahwa Amir sudah menyelesaikan pidatonya dan mencariku hingga ke sini.
"Halo Boss? Minum minum, kita rehat sejenak. Mau kopi?"
"Hentikan sogokanmu. Kenapa kau di sini? Aku habiskan tiga jam untuk pidato itu. Viktor sih nggak heran, tapi ini kau lo."
"Aku cuma agak capek. Sumpah, aku capek banget. Aku butuh istirahat yang tenang dan panjang."
"Ide bagus." Amir ikut duduk di sebelahku. "Malam ini aku juga harus tidur delapan jam. Aku ngikutin saranmu dan menjadi karakter utama cerita itu. Memang manjur, Sophia kayaknya makin cinta samaku, tapi capek juga bertingkah layaknya pangerang 24 jam."
"Maksudnya 24 jam? Memangnya kalian dempet-dempetan seharian gitu?"
"Kira-kira begitulah, kami kan tinggal serumah sekarang."
Sebenarnya aku ingin berkomentar, tapi rasanya pasti akan sakit jadi aku memilih menahan diri. Kuminum lagi kopiku yang sudah dingin sementara Amir terus berbicara.
"Tapi malam ini pasti berisik. Sophia pasti minta ditemani sampai tengah malam, apalagi parade kembang api itu pemandangan sekali setahun, sayang kalau dilewatkan."
"Parade? Ada acara apa sampai harus parade segala?"
Amir menatapku kebingungan. "Ini malam tahun baru, masa kau nggak tau sih?"
"Ohh…."
Malam tahun baru rupanya. Waktu berlalu dengan amat cepat seperti ikan terbang.
"Orang yang nggak punya kerjaan memang biasanya gitu," celetuk Viktor seperti biasa. "Paling juga tahun baru sendirian."
"Lah, kau sendiri tahun baru ngapain?" tanyaku membantah.
"Setiap tahun baru ada banyak event game yang berlangsung, mana bisa aku lewatkan event sepenting ini."
"Sungguh anti-klimaks, kukira kau punya pacar atau semacam itu."
Tahun baru bisa berarti banyak hal. New year new me. Banyak orang melewatkannya dengan keluarga, ada juga yang melewatkannya bersama kekasih, tapi tampaknya aku hanya akan meratapi hidup sendirian di malam tahun baru ini. Mungkin yang akan menemaniku hanyalah segelas kopi dan semangkok mi instan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...