Hantu

54 5 0
                                    

Dia duduk dengan gemetar. Kuberikan secangkir susu panas untuknya dan juga selembar tisu untuk mengusap air matanya. Kini dengan lampu ruangan menyala terang aku mendapat gambaran lebih baik akan penampilannya.

Dia benar-benar muda, mungkin umurnya tak lebih dari 15 tahun tapi begitu kurus dan berantakan. Dia mengenakan kaos pria berukuran ekstra besar sehingga kaos itu menutupi tubuhnya hingga ke lutut dan tampaknya dia tidak mengenakan apa-apa selain kaos itu.

Namun ekspresinya lah yang menarik perhatianku. Dia tampak begitu ketakutan. Dia terus melihat kiri dan kanan seolah memastikan dia tidak diikuti oleh siapa pun dan kedua tangannya begitu gemetar sampai-sampai menumpahkan hampir setengah susu di gelas yang dia pegang.

"Boleh kutau siapa namamu?"

Dia tidak menjawab spontan, dia melihat kearah pintu keluar cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Soni. Itu namaku."

"Soni? Nama yang unik. Apa artinya?"
Dia termenung sejenak. "Apa?"

"Maksudku, apa arti namamu? Pasti orangtuamu memberi nama itu dengan alasan kan?"

"Aku ... tak pernah tanya," jawabnya bingung. Mau tak mau aku merasa bahwa itu topik yang sensitif untuknya.

"Jadi, kenapa kau datang kemari?"

"Tolong aku," pintanya tiba-tiba. "Ada… ada hantu! Hantu mengejar-ngejarku."

"Hantu?"

Dia pasti baru saja menonton film horor super seram. Aku tak percaya pada hantu, sudah lama aku tidak percaya pada hal seperti itu tapi mungkin masih ada anak Sma sepertinya yang percaya.

"Hantu itu tidak a—"

Dan tiba-tiba saja hawa dingin berhembus di bawah meja. Soni menjerit dan mencoba melindungi kepalanya dengan kedua tangan sementara mataku dialihkan oleh sesuatu yang tiba-tiba muncul menembus pintu.

Itu bukanlah makhluk hidup, bukan pula gas maupun cairan. Kata yang paling cocok untuk menjelaskannya adalah bayangan yang dipadatkan hingga membentuk bola seukuran kepala manusia dan benda itu melayang menembus segala hal, mendekat kearah Soni.

"Heiheihei, apa-apaan itu?" Kucoba mencubit tanganku sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan halusinasi. Rasanya sakit.

"Dia datang! Dia di sini!" seru Soni tanpa berani mengangkat kepalanya.

"Kau tidak lihat itu? Itu mendekat!"

Segera aku bangkit dari dudukku dan mundur menjauh sementara benda itu terus melayang kearah Soni. Secara refleks aku menarik Soni mundur dan saat aku menyembunyikannya di belakangku benda itu mendadak berhenti dan pudar seketika.

Hawa dingin yang tadi mengiringi kemunculan benda itu lenyap seketika dan aku bisa merasakan Soni gemetar tak terkendali. Perlahan-lahan aku memapahnya kembali ke kursi.

"Benda apa yang tadi itu?" tanyaku. "Bukan hantu sungguhan kan?"

Soni tampak begitu ketakutan sehingga tak mampu menjawab. Sekali lagi aku melirik ke arah pintu, siapa tahu benda misterius itu muncul lagi. Namun setelah beberapa menit tak ada tanda-tanda benda itu akan kembali jadi Soni akhirnya buka suara.

"Aku dihantui," bisiknya pelan. "Aku tahu ada yang menghantuiku."

"Maksudmu bola asap yang tadi?" dia menatapku heran.

"Kamu bisa lihat hantu?"

"Kau nggak lihat yang tadi?"

Dia menggeleng dan seketika keringat dingin mengalir keluar dari pelipisku. Apakah Soni berbohong atau memang hanya aku yang bisa melihat benda hitam tadi, dua-duanya tetap tak merubah fakta ada sesuatu yang mistis tengah terjadi.

Aku masih tak percaya hantu tapi yang tadi tidak terlihat seperti semacam prank. Apa benda itu akan ikut menggangguku jika Soni tetap di sini? Aku tak ingin terlbat dengan masalah spiritual tapi aku juga tak tega mengusir Soni karena aku tak tahu apa saja yang mungkin benda hitam itu akan lakukan padanya, jadi aku pun berkata, "Tinggallah sampai pagi. Tenang, hantu tidak berani keluar melawan matahari."

Soni mengangguk dan berterima kasih. Perlahan-lahan dia mulai bisa mengendalikan gemetarannya. Aku sama sekali tidak merasa mengantuk dan begitu juga dia jadi kami melewatkan waktu dalam diam.

Kutatap wajahnya sekali lagi. Aku tak bisa memungkiri bahwa dia memiliki wajah yang begitu menawan, terutama matanya yang menyimpan kilau yang begitu indah. Sulit membayangkan bahwa kurang dari satu jam yang lalu dia mencoba untuk bunuh diri.

Benar juga, kenapa tadi dia hendak bunuh diri? Aku tak bisa memaksakan diriku untuk menanyakannya. Yang kulakukan hanyalah terus menatapnya hingga matahari terbit dan saat Soni pamit untuk pulang aku merasa begitu kehilangan.

Dia perempuan yang aneh, semakin aku memikirkan tentang dirinya semakin banyak pertanyaan yang tak bisa aku jawab. Namun, aku merasa semua pertanyaan itu tidaklah penting, aku sudah terpukau dengan kilauan matanya, terpukau oleh jiwa yang ada di dalam dirinya. Rasanya seperti obsesi yang membuatku tak bisa memikirkan hal lain.

Dan karena itulah, saat aku melihatnya lagi malam harinya, aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Dia berdiri di depan pintu kamarnya yang tertutup. Di depan pintu terdapat koper dan beberapa kardus berisi barang yang dikemas secara terburu-buru. Dari ekspresi Soni aku tahu apa yang telah terjadi, dia pasti sudah diusir karena tak bisa membayar sewa.

Kedua mata kami bertemu dan sekali lagi dia menunjukkan ketakutan yang begitu indah. Aku tak begitu mengerti mengapa aku melakukannya, yang kutahu aku sudah menjulurkan tanganku dan berkata, "Kau boleh tinggal di tempatku."

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang