Dia tertidur begitu lelap dengan cepat, membuat sedikit topik obrolan yang sudah kupikirkan tidak lagi dibutuhkan. Seolah sudah diprogram, tanganku kembali mengetik dengan lancar diatas keyboard. Aku tak tahu dari mana asalnya tetapi inspirasi terus saja datang dan membuatku tak bisa berhenti. Seluruh kurungan yang sudah kualami selama berbulan-bulan akhirnya menemukan pelampiasan.
Aku suka melihat komentar para pembaca di setiap bab. Komentar-komentar itu menyemangatiku, membuatku merasa bahwa aku benar-benar diperlukan oleh orang lain. Karena itulah aku ingin berbuat yang terbaik untuk mereka dengan memberi banyak bab baru setiap harinya.
Namun, aku sadar bahwa aku sudah menunjukkan sikap yang begitu dingin pada Shade. Ahh, Shade. Munculnya kau di pikiranku membuat jari-jariku berhenti bergerak, membuat ide yang nyaris muncul hilang tak berbekas.
Aku pun menutup mata, menarik nafas dan mencoba memikirkan monolog yang tepat untuk kembali memulai cerita. Namun percuma, pikiranku sudah benar-benar kosong dan hanya akan membuang-buang listrik bila aku terus mencoba melanjutkan. Akhirnya aku pun memilih untuk tidur.
Sudah berapa bulan sejak aku mengidap insomnia? Ahh ya, sejak 'itu' muncul. Aku mencoba, tapi tak ada hasilnya. Entah mengapa, aku hanya bisa tidur jika berbaring di sebelah Shade.
Tentunya itu bukan berarti aku harus tidur dengannya. Mungkin aku hanya butuh seseorang menemaniku tidur, bukan berarti orang itu harus Shade. Ohh entahlah, aku tak pernah punya orang lain untuk mencobanya. Sudah dua bulan ini yang aku punya hanya dia.
Akhirnya aku pun meninggalkan kasur yang nyaman dan berbaring di sebelahnya. Tidur di lantai yang dingin dan keras mungkin akan membuatku sakit besok pagi. Namun itu bukan masalah, aku sudah mengalami banyak rasa sakit selama ini.
Malam ini mendung, cahaya yang masuk hanya memberi gambaran samar dari wajahnya tapi entah mengapa aku ingat bentuk wajahnya dengan baik. Dahinya agak lebar, alisnya tebal, hidungnya sedang saja, dan bibirnya….
Ya Tuhan, kurasa aku akan gila. Aku tak bisa merangkai apa yang kurasakan dengan kata-kata yang tepat. Seluruh perasaan yang bergejolak ini terasa begitu membingungkan, tapi di saat lain juga terasa menyenangkan. Ahh, aku harus mengingat perasaan ini dan menuangkannya dalam tulisan nanti.
Tunggu sebentar, sejak kapan aku punya kebiasaan seperti itu? Shade lah yang punya kebiasaan untuk segera melukiskan apa yang dia lihat. Apa aku sudah tertular? Yah, kurasa dia memang sudah menulariku. Atau… apakah aku yang menularinya?
Hubungan kami memang aneh, dan tanpa sadar ada sesuatu yang beracun tercipta di antara kami berdua. Racun itu begitu lemah sampai-sampai aku tidak menyadarinya, tapi setelah seminggu percobaan akhirnya aku mengerti apa yang Rui katakan.
Hal itu terjadi dua minggu yang lalu. Aku sebenarnya berniat mencuci baju dan tanpa sengaja aku menemukan kertas yang Rui selipkan di sakuku saat kami bertemu dulu. Kertas itu memiliki 12 digit angka yang jelas adalah nomor kontak Rui. Dia dulu bilang padaku untuk menghubunginya jika perlu, tapi aku benar-benar tak ingin berurusan dengannya.
Namun, tanganku bergerak dan menyimpan nomor itu. Seminggu kemudian aku pun menghubunginya. Jika ada yang tanya mengapa aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Yang bisa aku katakan hanyalah, Rui orang yang unik. Ada sesuatu yang membuatku tertarik padanya.
"Aku senang kau akhirnya menghubungiku," terdengar suara di ujung sana, "dan waktunya sangat tepat. Shade baru saja pulang."
"Emm… apa dia membicarakan sesuatu?"
"Oh ya, dia bertanya tentang pilihan masa depan paling menguntungkan karena dia akan butuh uang untuk menafkahimu. Dia suami yang amat pengertian kan?"
Entah mengapa aku sudah terbiasa digoda seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...