Akhir kisah

6 1 0
                                    

Sudah jam delapan malam saat hujan benar-benar turun membasahi tanah. Suara dengung kembang api yang sedari tadi terdengar dari berbagai penjuru kini nyaris berhenti total. Tampaknya masih ada beberapa orang yang mencoba untuk melawan hukum alam dan menyalakan kembang api di tengah hujan, tetapi cahaya dan suara yang dihasilkan sungguh mengecewakan.

Namun, suasana tahun baru masih benar-benar terasa. Pasti ada banyak orang yang berdoa agar langit segera cerah sehingga manusia bisa kembali mengotori langit dengan aroma bubuk mesiu. Orang-orang yang biasanya sudah tertidur di jam ini berkumpul satu sama lain demi menghitung detik-detik pergantian tahun bersama. Hanya sedikit saja yang tetap diam di rumah seolah tahun baru bukanlah hal yang istimewa, orang-orang yang kesepian.

Meski bilang begitu, kenyataannya aku hanya menyaksikan suasana tahun baru dari balik jendela kamarku, aku bagian dari orang-orang yang kesepian itu. Satu-satunya temanku hanyalah secangkir kopi yang mulai dingin. Benar-benar menyedihkan.

Kalau dipikir-pikir, ini akan menjadi pertama kalinya aku melewati tahun baru sendirian. Rasanya benar-benar tidak mengenakkan. Jika aku memikirkan orang-orang di luar sana yang tengah berpesta atau bermesraan aku jadi merasa begitu kesepian, jauh lebih kesepian dibanding yang selama ini pernah aku rasakan.

Mungkin sebaiknya aku terima saja tawaran kakakku, tapi rasanya kurang mengenakkan jika aku menjadi orang ketiga di rumah mereka. Apa mungkin lebih baik aku kembali ke kantor dan bermain game bersama Viktor? Ahh, gagasan yang mengerikan.

Andai saja…. Andai saja Soni masih di sini maka aku tak mungkin merasa kesepian. Malah, ini pasti akan jadi malam tahun baru yang luar biasa. Aku bisa membeli kue dan kami akan memakannya dengan meja menghadap ke luar jendela sembari menikmati seluruh kembang api yang dibeli menggunakan uang orang lain. Membayangkannya membuat hatiku hangat untuk sesaat dan kembali dingin dengan cepat.

Kira-kira sekarang Soni sedang apa? jika melihat kepribadiannya maka dia pasti sedang menulis. Atau, mungkinkah dia sudah menemukan pria lain? Ahh, apa sih yang aku pikirkan. Kubuang pikiran itu jauh-jauh. Untungnya ponselku berdering cukup kencang dan membuatku bisa mengalihkan pikiran.

"Ya? Kenapa Kak?"

"Kau sudah baca novelnya Soni?"

Aku memiringkan kepalaku heran, ini topik yang cukup aneh untuk dijadikan topik pertama dalam pembicaraan telepon.

"Belum, kenapa?"

"Baca sekarang."

Dan kemudian panggilan diputus. Aku tahu kakakku ini punya beberapa kebiasaan yang menyenangkan tapi menyampaikan informasi sepotong-sepotong benar-benar kebiasaan yang buruk.

Namun, aku tetap menurutinya. Jika aku menelusuri situs tersebut aku dapat melihat bahwa novel yang Soni tulis sudah menjadi salah satu novel yang paling laris dan itu membuatku bangga karna akulah pembaca pertama dari novel tersebut. Meski mungkin tak ada siapa pun yang tahu tentang itu.

Membaca novel itu adalah satu-satunya cara agar aku bisa merasa terkoneksi dengan Soni. Nomornya tak lagi aktif dan dia sama sekali tidak meninggalkan alamat sehingga satu-satunya peninggalannya adalah novel ini. Aku membacanya secara rutin setiap malam. Novelnya sendiri sudah hampir memiliki 200 bab, aku mulai bertanya-tanya kapan novelnya akan selesai karna ceritanya sendiri sudah mencapai klimaks.

Aku pun mulai membaca dari bagian terakhir aku meninggalkannya. Seketika aku pun tahu mengapa kakak menyuruhku segera membacanya. Novel ini akhirnya mencapai kesimpulan.
Aku menahan napasku yang mulai terasa berat sementara jariku terus bergerak membuka bab berikutnya. Aku merasa sedikit takut untuk terus membaca, tapi di saat yang sama tak bisa berhenti membaca hingga akhirnya aku tiba di bab terakhir.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang