Lukisanku

33 5 0
                                    

Jika aku mengingat apa yang sudah aku katakan, aku menyadari itu adalah pilihan kalimat yang sangat bodoh. Aku dan Soni nyaris tidak saling kenal dan tiba-tiba saja aku menawarinya untuk tinggal denganku. Dilihat dari sudut pandangnya aku pasti tampak seperti pria mencurigakan dengan segudang niat jahat dan karena itulah aku amat kaget saat dia menerima tawaranku dengan senang hati.

Aku menenteng kopernya sementara dia mengekor di belakangku. Untungnya penghuni kamar lain tidak melihat apa yang tengah aku lakukan karena ini bisa menjadi masalah yang berbuntut panjang. Saat aku menutup pintu dengan rapat aku pun sadar akan satu masalah. Ruangan tempatku tinggal ini sama sekali tidak cukup untuk ditinggali dua orang.

Rumah susun dengan sewa murah yang kutempati ini hanya memiliki ukuran 4x4 meter, sudah termasuk kamar mandi dalam yang menjadi satu dengan toilet. Di dalamnya sudah ada matras 2x1 untuk tidur, meja kecil, lemari baju, kompor, dan beberapa kotak perlengkapan yang ditumpuk di sudut. Nyaris tak ada tempat untuk melakukan lompat tali bagi satu orang dan sekarang Soni akan tinggal di sini. Di mana dia akan tidur?

Untungnya Soni tidak membawa banyak barang dengannya. Ada cukup ruang di dalam lemari untuk pakaiannya yang tidak seberapa dan barang-barangnya berhasil kami susun dibawah meja. Untuk merayakan kepindahan ini aku mengeluarkan beberapa botol soda dan kami pun minum dengan tenang sembari memikirkan kembali apa yang sudah kami lakukan.

Gila! Aku ini ngapain sih? Kalau ada yang tahu aku meminta anak Sma untuk tinggal denganku aku pasti akan dituntut dan masuk penjara. Belum lagi jika para tetangga sampai tahu, bisa-bisa aku diusir dari sini. Tidak mudah mencari tempat tinggal yang sesuai dengan kantongku. Tempat ini tidak dibangun di lokasi yang strategis, terlebih tak ada lift untuk para penghuninya sehingga membuat kamar di lantai 5 cukup murah untuk ukuran ibukota. Pokoknya aku tidak boleh diusir dari sini.

Namun pemikiran untuk mengusir Soni sama sekali tak terlintas di benakku.

"Umm… Soni, kau tak masalah kan tinggal di sini?"

Aku bertanya demi kenyamanan kami berdua dan meski aku tak tahu apa yang dia pikirkan aku punya firasat bahwa dia tidak akan macam-macam. Dia terlihat seperti orang yang begitu penurut dan karenanya dia pun mengangguk.

"Kalau begitu mulai sekarang aku minta kau tidak keluar dari kamar ini."

Bukannya aku mau mengekangnya, aku hanya tak ingin orang lain tahu kami tinggal berdua. Aku tahu itu permintaan yang benar-benar berat, tapi sekali lagi Soni mengangguk patuh. Itu membuatku heran.

"Kau…. Memangnya kau nggak perlu sekolah?"

Dia menggeleng. "Aku sudah berhenti sekolah."

"Terus, kau nggak kegiatan lain di luar? Atau orang lain yang mencarimu?"

Dia menggeleng sekali lagi. "Aku kerja lewat internet dan… aku sebatang kara."

Wow, beruntung sekali aku. Seseorang yang bekerja melalui internet dan tak punya sanak saudara yang akan mencarinya, itu artinya dia benar-benar tak perlu pergi ke mana-mana dan bisa tetap diam di rumah. Dengan begini aku tak perlu cemas ada yang memergoki kami.

Saat kaleng pertama telah habis, malam sudah semakin larut. Sisa-sisa panas dari siang hari sudah hilang tak berbekas sehingga hawa dingin mulai terasa di kulit. Aku bisa melihat Soni ikut melihat ke luar jendela dan kemudian pandangannya beralih padaku, ada suatu emosi yang kompleks dalam tatapannya.

Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri dan berjalan ke arah kasur. Tanpa meminta ijin dia membaringkan tubuhnya begitu saja seolah kasur itu kini menjadi miliknya. Memang benar bahwa tak ada tempat lain untuk tidur tapi harusnya dia tahu betul bahwa dia cuma penumpang, kasur itu milikku. Aku menghampirinya, berniat untuk menceramahinya, tapi saat sudah dekat aku akhirnya paham apa yang dia pikirkan.

Soni masih mengenakan pakaian yang sama dengan tadi pagi, kaos yang kebesaran. Karena itulah saat dia berbaring kaos itu mencetak tubuhnya dan mempertontonkan lekuk tubuh feminimnya. Aku menelan ludah, tak bisa mengalihkan pandanganku. Baik dada, pinggang, dan pinggulnya membentuk lekukan yang bagus sementara pahanya yang putih mulus terekspos di hadapanku. Entah apakah dia memakai celana pendek atau malah tidak memakai celana sama sekali.
Dengan jari telunjuk dia memelintir ujung rambutnya dan ekspresinya pasrah seolah-olah mengatakan "lakukan apa pun yang kau mau."

Bukannya aku tidak memikirkan itu, tapi kok bisa ekspresi yang ia buat terasa begitu murni? Dia seperti bayi yang mengatakan segalanya melalui tindakan secara terang-terangan dan belum pernah dalam hidupku aku bertemu orang seperti itu.

"Bagus! Pertahankan posisimu."

Aku segera melangkah ke kardus di sudut ruangan dan mengobrak-abrik isinya. Masih ada satu kanvas yang bersih, tapi sialnya semua cat air maupun pensil warna tak dapat kutemukan. Aku pun harus puas hanya dengan sebatang pensil dan penghapus yang sudah kotor. Cepat-cepat aku kembali ke tempat Soni berada, mengatur posisi easel dan mulai melukis.

"Engg, apa yang kamu …."

"Ssstt!"

Aku mengeluarkan desis panjang. Untuk saat ini aku tak butuh indra pendengaran, yang aku butuhkan hanyalah mata untuk melihat dan tangan untuk menuangkan setiap gurat ekspresi. Pertama adalah gelombang rambutnya, disusul dengan mata lalu hidung dan akhirnya mulut. Gerakan tanganku menjadi begitu lamban karena lama tidak melukis dan jumlah penghapus yang kupunya untuk membereskan setiap kesalahan amatlah terbatas sehingga aku tak punya keberanian untuk lanjut melukis ke bawah leher.

Lukisan pertamaku setelah sekian lama. Saat membandingkan apa yang kubuat dengan objek aslinya, yang kurasakan hanyalah kekecewaan. Jelek, sangat jelek.

"Selesai, kau boleh berdiri sekarang."

Sudah berapa lama aku tidak memegang pensil? Aku yang dulu tak mungkin membuat garis dagu sekaku ini, aku yang dulu tak mungkin membuat rambut tampak seperti untaian mi instan. Tanpa sadar rasa frustasi itu menumpuk dan pensil yang kupegang menjadi korbannya.

"Kamu sedang apa?"

Soni sudah berdiri di sebelahku dan melihat ke arah lukisan jelek yang kubuat. Entah mengapa dia tampak terpesona.

"Bagus sekali."

"Ini jelek," gumamku, "sepersepuluh… mungkin seperlimabelas kecantikanmu."

Semburat kemerahan menyebar di pipinya karena pujian itu, tapi itu hanya terjadi sesaat karena setelahnya dia tampak bingung.

"Kamu nggak mau… ehh, gimana bilangnya ya—"

"Aku lapar," potongku cepat, "kau bisa masak nggak?"

Soni tampaknya ingin mengatakan sesuatu tapi akhirnya dia hanya mengangguk dan berjalan pergi. Bukannya aku tak mengerti apa yang dia maksud, aku hanya merasa lebih baik bagi kami untuk menjaga jarak satu sama lain.

Aku melirik lukisanku sekali lagi sebelum meremas dan membuangnya ke tong sampah.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang