Tubuh Soni ternyata lebih ringan dari yang aku kira. Anak tangga demi anak tangga yang kunaiki sama sekali tidak memberikan rasa berat di kaki sehingga perlahan tapi pasti aku bisa membawa Soni ke lantai lima tempatku tinggal. Kukencangkan genggaman lenganku di pundak dan pahanya, memastikan dia tidak terjatuh dari pangkuan tanganku.
Soni tertidur dengan lelap. Sedetik setelah aku memeluknya di jembatan itu, dia langsung tertidur begitu saja. Awalnya aku mengira dia pingsan, tapi entah mengapa aku yakin dia hanya sekedar tidur jadi aku memutuskan membawanya ke tempat teduh agar dia bisa tidur dengan nyenyak. Perjalanan pulang memang tidak nyaman, hujan deras membuat kami berdua basah kuyup tapi aku merasa ada kehangatan dalam diriku yang membuatku bisa terus berlari sembari menggendong Soni.
Lihatlah, dia tertidur layaknya bayi, bahkan seluruh air hujan itu sama sekali tidak membangunkannya. Melihatnya saja sudah membuatku mengantuk tapi aku terus memaksakan diri menaiki tangga dan meninggalkan jalur air di sepanjang perjalananku. Semoga tak ada yang terpeleset karenanya.
Saat kami berdua sudah aman di dalam kamar, aku memikirkan kembali apa yang harus aku lakukan. Ini terasa amat menggelisahkan, tak mungkin aku membaringkannya begitu saja dalam keadaan yang amat basah jadi pelan-pelan aku melepas baju dan celananya sebelum menutup tubuhnya dengan selimut. Aku harusnya melepas pakaian dalamnya juga tapi aku tak berani melakukan itu.
Kubiarkan dia berbaring nyaman di atas kasur sementara aku mengusap wajah dan mengeringkan rambutnya. Aku bisa merasakan tubuhnya sedikit panas, apa dia demam? Sudah berapa lama? Untuk jaga-jaga aku pun meletakkan kain basah di dahinya. Benar juga, saat dia bangun nanti dia pasti lapar. Aku harus memasak sesuatu.
Dan kemudian, aku menunggu. Setelah dua minggu tanpa tidur aku jadi sangat ahli dalam menghabiskan waktu. Yang aku lakukan hanya duduk dan terus memandangi wajah Soni. Dibandingkan malam-malam sebelumnya, caraku menghabiskan waktu malam ini terasa begitu mewah.
Aku tak bisa mengekspresikan betapa aku merindukannya. Bagiku detik-detik yang kulewati hanya dengan menatapnya saja lebih berarti dibandingkan dua minggu belakangan ini. Aku bertanya-tanya, apakah detik-detik ini hanya akan berlangsung saat dia tidur? Apakah dia akan pergi lagi saat terbangun nanti?
Dan kemudian, jauh lebih cepat dari siapa pun yang menduga, Soni membuka matanya. Aku bisa melihat irisnya yang kecoklatan itu menatap lurus ke arahku dan sebelum dia sempat mengatakan apa pun aku menekan kedua tanganku di pundaknya, mencegahnya bangun, dan berkata, "Aku mencintaimu."
Aku bukan orang yang pandai berbicara, jadi aku memilih mengatakannya langsung tanpa syair hiasan. Aku merasa ada beban berat yang akhirnya terangkat dari pundakku dan sekarang aku menginginkan balasan, dan Soni membalasnya dengan senyuman hampa.
"Aku sudah memikirkan banyak hal," bisiknya, nyaris tak terdengar, "dan aku juga cinta kau Shade, tapi sekarang aku ingin pulang."
Dia mencoba bangkit sekali lagi tapi aku langsung mendorongnya kembali.
"Sudah kubilang kan, kau boleh tinggal di sini, selalu seperti itu."
"Minggir."
Dia menepis tanganku dan mendudukkan dirinya. Selimut yang terjatuh dari tubuhnya memperlihatkan pakaian dalamnya dan segera setelah menyadari itu Soni langsung kembali bersembunyi di balik selimut.
"Di mana bajuku?"
"Basah karna hujan. Bukan salahku, salahmu sendiri mencoba bunuh diri saat hujan."
Wajahnya membatu. Aku membiarkannya mengarang jawaban sementara aku bangkit berdiri dan mengambil makanan yang sudah kupersiapkan.
"Kau mau makan?"
Matanya membulat saat melihat apa yang kuulurkan padanya. Entah apakah itu karena takjub atau karena ikan bakar yang kubuat memiliki warna yang terlalu hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...