Dengan diumumkannya projek baru, dan tentunya timesheet kerja yang lebih padat, membuat seluruh kantor memasuki masa-masa paling sibuk dalam sejarah berdirinya perusahaan ini. Rasanya aku tak ingat kapan terakhir kali aku pulang tanpa pekerjaan memenuhi pikiranku, tapi sesibuk apa pun aku selalu memastikan diri pulang sebelum gelap.
Dan karena itulah aku merasa hidup kembali saat akhir pekan tiba. Meski hari Sabtu merupakan hari konsultasi tapi aku tak bisa menyingkirkan senyum dikala aku berpakaian rapi, siap menjalani hari yang indah.
"Kamu mau ke mana?" tanya Soni sembari membereskan sisa makan siang, "Hari Sabtu tetap kerja ya?"
"Aku mau ke kampus, ada janji sama dosen."
Statusku saat ini adalah cuti kuliah tapi bukan berarti aku tak bisa pergi ke kampus. Kebetulan hari ini aku sudah membuat janji dengan dosen pembimbingku untuk membahas beberapa hal dan rencananya aku akan langsung kesana setelah konseling dengan Rui. Haduhhh, aku benar-benar tak ingin pergi konseling.
"Ngomong-ngomong Soni, apa saat aku pergi ada orang yang pernah datang kemari?" tanyaku serius. keberadaan Soni disini adalah sebuah top secret yang tak boleh diketahui oleh siapa pun, terutama para tetangga.
"Umm… dulu aku pernah dengar suara ketukan pintu tapi aku tidak membalasnya. Seingatku cuma itu."
"Bagus. Jangan pernah bukan pintu pada siapa pun kecuali aku. Janji?"
"Ya, janji."
Layaknya anak kecil kami saling menautkan jari kelingking kami untuk bersumpah. Aku berjanji padanya untuk pulang sebelum gelap dan tanpa menunda-nunda aku pun berangkat ke rumah sakit.
***
Konseling dengan Rui terasa mengerikan seperti biasa tapi karena dia memiliki beberapa janji yang mendesak maka sesi konseling itu hanya berlangsung sepuluh menit, sepuluh menit yang menguras jiwa. Sesi konseling yang hanya sepuluh menit membuatku bisa tiba di kampus lebih cepat dari waktu yang dijanjikan dan untungnya dosenku tidak keberatan untuk bertemu lebih awal.
"Apa kabar Shade? Wajahmu tampak cerah, tampaknya cuti kuliah bagus untukmu."
"Bapak bisa aja. Tapi ya, saya sudah baikan sekarang."
Dosen pembimbingku Pak Ramli adalah seorang pria setengah baya dengan tubuh agak gemuk dan kepala yang sudah mulai botak. Dia populer di kalangan mahasiswa karena sifatnya yang ramah dan mudah diajak diskusi sehingga beberapa mahasiswa benar-benar menganggapnya sebagai orangtua sendiri.
"Jadi Shade, ada apa gerangan kamu ingin menemui saya? Biasanya kamu jarang minta ketemu."
"Nggak ada yang terlalu penting sih. Cuma…."
Aku mengeluarkan beberapa gulungan kanvas dari tasku dan meletakkannya diatas meja. Pak Ramli melihat itu dengan wajah tanpa ekspresi dan tidak menyentuhnya.
"Kamu masih melukis rupanya," ucapnya pelan.
"Ini kan jurusan seni, wajar kalau saya melukis."
"Saya tahu itu, saya juga tahu lukisanmu bagus, tapi kamu punya bakat yang besar di bidang desain grafis. Melihat dari prospek masa depan lebih baik bila kamu terus perdalam kemampuanmu di sana."
Mendengar itu membuatku menggigit bibir secara reflek. Teringat kembali alasan mengapa aku mengambil cuti dan itu sungguh membuatku putus asa, tapi perlahan-lahan ingatan itu berubah bentuk menjadi Soni dan memberiku keberanian.
"Tapi saya lebih suka pensil dan kanvas dibandingkan drawing pad."
Senyum kecil tersungging di bibir Pak Ramli dan dia mengambil gulungan kanvas itu, menimbangnya dengan kedua tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...