Aku tak mengerti kenapa, tapi sudah satu minggu ini aku sama sekali tidak bisa tidur. Setiap kali aku mencoba untuk tidur aku malah merasa semakin segar dan sebagai hasilnya aku harus mencari sesuatu untuk menghabiskan waktu di malam hari.
"Soni, kau masih bangun?"
"Y-ya?!"
Dia juga terdengar sama segarnya jadi aku kembali menghidupkan lampu sehingga bisa melihat wajahnya.
"Aku nggak bisa tidur…"
"O-ohh…."
Soni tampak benar-benar gelisah sekarang dan harus kuakui ekspresinya itu lucu sekali. Namun, kegelisahan itu tidak berlangsung lama karena mendadak saja hawa dingin yang tidak normal menyelimuti tubuhku dan tanpa alasan yang jelas aku mulai berkeringat dingin.
"Datang… ada yang datang!"
Soni berteriak histeris dan mencoba bersembunyi dibalik punggungku sementara mataku kembali terpaku kepada benda misterius yang kulihat tadi pagi. Benda hitam yang menyerupai gumpalan asap itu terlihat persis seperti sebelumnya. Apa ini semacam teknologi AR? Ataukah sesuatu yang benar-benar belum dimengerti teknologi manusia? Yang jelas benda itu sudah membuatku takut.
Benda itu melayang begitu saja, tidak bergerak sama sekali tapi memberikan perasaan misterius. Meski tak memiliki mata tapi aku merasa benda itu melihat ke arahku. Apa dia sedang mengancam? Apakah hantu benar-benar bisa menyakiti manusia?
"Pergi kau!" seruku kepadanya dan sama seperti munculnya, benda itu lenyap begitu saja.
Soni meringkuk di belakangku, tak berani mengeluarkan kepala dari balik kedua tangannya. Aku pun melingkarkan tanganku ke pundaknya dan membelai kepalanya dengan tangan yang lain.
"Tenang, dia sudah pergi. Dia sudah pergi."
Butuh waktu untuk membuatnya berani mengangkat kepalanya lagi. Aku merasa sudah terlibat dengan sesuatu yang berbahaya, tapi tangan Soni yang dingin membekukan ketakutan itu. Melihatnya seperti itu membuatku merasa seperti merawat bayi kucing yang tengah kedinginan. Sangat lemah, sangat rapuh, butuh pertolongan. Aku tak boleh membiarkannya mati.
"Kau nggak bisa tidur kan? Kalau gitu ayo ngobrol sampai pagi."
Mata Soni mengerjap indah dikala dia mengangguk. Dengan selimut menyelimuti kaki kami agar tetap hangat, Soni membuka pembicaraan lebih dulu.
"Umm… nama?" tanyanya.
"Apanya?"
"Aku belum tahu namamu."
Mataku melotot, otakku berhenti bekerja. Bagaimana bisa aku belum memperkenalkan diri padahal aku sudah memintanya melakukan yang aneh-aneh? Bukankah urutan kehidupan kami benar-benar keliru?
"Namaku… err… S-H-A-D-E." Aku mengeja satu per satu huruf dari namaku. "Memang nama yang aneh."
"Sha… de?" Soni kebingungan. "Atau apa itu dibaca 'shed?'"
"Shed, seperti dalam bahasa inggris. Semua orang memanggilku begitu."
"Shade, artinya bisa jadi tempat berteduh kan? Tempat berteduh…."
Aku tak yakin itu bisa dianggap sebagai takdir, tapi beberapa kebetulan memang terasa lucu. Namaku memiliki arti tempat berteduh dan sekarang aku menampung seorang tuna wisma.
"Aku juga tak tahu kenapa ibuku memberi nama ini, tapi aku suka. Berapa banyak orang bernama Shade yang pernah kau temui?"
"Cuma kau seorang."
"Tepat, itu membuatku merasa spesial."
Posisi kami yang saling berhadapan dalam posisi berbaring di balik selimut terasa seperti sebuah adegan dalam film-film romansa. Soni memang luar biasa cantik dan mau tak mau itu membuatku merasa gelisah sebagai laki-laki. Namun, aku mencoba menanamkan batasan moral dalam diriku. Soni pun kembali bertanya.
"Shade…. Kau… umm, kau tak mau…." Butuh banyak waktu dan usaha baginya untuk mengatakan itu hingga akhirnya dia berhasil menyusun pertanyaannya dalam satu kalimat lengkap. "Kamu nggak mau tidur denganku?"
"Bukannya kau masih terlalu muda untuk menawarkan dirimu seperti itu?"
Pertanyaanku membuatnya benar-benar salah tingkah dan aku tak tega terus membiarkannya memikirkan itu.
"Aku nggak akan macam-macam denganmu," ucapku pasti.
"Nggak?!" tanyanya kaget. "Kalau begitu untuk apa kau ijinkan aku tinggal di sini?"
"Karena aku butuh model untuk lukisanku."
Sebelah alisnya terangkat keheranan tapi itu adalah jawaban yang jujur dariku. Hanya karena dia cantik dan … ehm, seksi bukan berarti aku menginginkan sesuatu yang lain darinya. Itu melanggar hukum.
"Model? Kamu pelukis?"
"Aku masih nggak yakin. Umurku sudah masuk 23 tahun tapi aku masih belum lulus kuliah, sekarang aku sedang cuti. Aku…." Sejenak aku ragu untuk bilang, tapi Soni adalah seseorang yang asing, memberitahunya sama sekali tak akan menjadi masalah. "Aku cuma ngerasa jadi pelukis nggak bisa memberiku makan jadi benar-benar nggak tahu harus lanjut atau tidak."
Di jaman sekarang tak banyak tempat bagi seorang seniman tradisional untuk berkarya. Beberapa orang berhasil sukses dengan menjadi graphic designer tapi bagiku melukis di komputer amatlah berbeda dibanding menggunakan pensil dan kanvas. Jaman telah berubah, semua serba digital sekarang sementara aku tetap terjebak pada sesuatu yang tak lagi ada peminatnya.
Dan karenanya aku ragu untuk melanjut kuliah. Apakah yang kupelajari saat ini sanggup memberiku makan di kemudian hari? Apakah lebih baik aku menyerah dan mengikuti arus jaman?
"Aku paham yang kamu rasakan," bisik Soni yang tengah menatap pola bunga di selimut. "Aku juga dari dulu suka menulis dan pernah berharap bisa menerbitkan novelku, tapi meski aku terus mengirim naskah tak ada penerbit yang pernah membalasnya. Aku paham era emas novel cetak sudah berlalu, tapi karena hanya itu yang bisa kulakukan aku pun berakhir dalam kondisi seperti ini. Bedanya denganmu, aku sudah benar-benar menyerah, tak ada harapan lagi dalam mimpiku."
Sekali lagi dia menyembunyikan wajahnya dibalik lengan. Tanpa sadar aku sudah mengelus kepalanya dengan perasaan sayang yang entah muncul dari mana. Kami senasib, dia mengerti diriku dan aku mengerti dirinya. Mungkinkah ini semacam takdir bagi kami untuk saling bertemu?
"Tapi, tolong jangan menyerah," bisik Soni lagi, "lukisanmu tadi sangat-sangat bagus."
Ada kenyamanan yang tercipta di antara kami dan itu membuat kami terus bercerita tanpa terputus. Hal berikutnya yang kusadari adalah aku terbangun dari tidurku dengan Soni yang juga tertidur di sebelahku. Aku merasa segar, sensasi khas bangun tidur yang nyenyak. Sudah seminggu lamanya aku menderita karena tak bisa tidur dan keberadaan Soni mengobati masalah itu.
Di malam-malam berikutnya aku menyadari bahwa berbaring di sebelah Soni adalah satu-satunya cara untuk mengobati insomnia yang aku derita. Meski terdengar tidak masuk akal, Soni tidak keberatan dengan itu dan akhirnya kami pun memutuskan untuk selalu tidur bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...