Obat jiwa

13 4 0
                                    

Setelah mengalami sore yang tidak biasa aku menghembuskan nafas lega karena akhirnya bisa kembali ke rumah dengan selamat. Pelan-pelan kuputar kunci di tanganku untuk membuka pintu, berharap mendengar sambutan "selamat datang" yang biasa.

Namun tepat disaat aku memasuki ruangan ternyata Soni baru saja keluar dari kamar mandi. Kami saling tatap satu sama lain, sama-sama membeku selama beberapa detik dengan pikiran kami masing-masing. Soni mungkin merasa heran mengapa aku pulang lebih cepat sedangkan aku membeku karena Soni hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuhnya.

Dan kemudian akal sehat kami pun kembali dan sedetik sebelum Soni berteriak aku mengacungkan tanganku ke depan dan berseru, "Stop!"

Soni membeku. Tentunya itu bukan karena aku memiliki kemampuan menghentikan waktu melainkan karena Soni sendiri mengerti situasi kami. Buru-buru aku menutup pintu dan meletakkan barang-barangku sebelum akhirnya mendekati Soni.

"Bisa kau pertahankan pose itu? Lima menit—ahh, sepuluh menit."

Wajah Soni yang begitu serba salah itu amat memanjakan mata. Kuambil kanvas yang kini selalu siap sedia di pinggir ruangan, mengatur sudut yang tepat lalu menajamkan pensil. Situasi dimana aku tiba-tiba memintanya menahan pose sebenarnya sudah menjadi kebiasaan, tapi karena pose kali ini sedikit berbahaya Soni terlihat ingin menangis. Itu malah menambah pesonanya.

"Bisakah setidaknya aku pakai baju dulu?" pintanya lirih.

"Maaf tapi tidak, tolong jangan bicara."

Jika dia memakai baju maka ekspresi malu-malunya jelas akan, karena itulah ini merupakan lukisan langka yang hanya bisa dibuat saat dia hanya memakai handuk. Itulah pesona dari lukisan erotis. Kudengar banyak sekolah seni di luar negeri yang memiliki kelas khusus untuk melukis wanita telanjang. Jika aku meminta Soni yang seperti itu apa kira-kira dia akan bersedia?

Dengan lebih banyak kulit yang terekspos aku jadi semakin menyadari sekurus apa Soni. Tulang selangkanya tercetak jelas dibalik kulitnya dan memerlukan fokus yang tinggi untuk melukis itu secara detail. Meski demikian semakin sulit justru membuatku semakin tertantang.

Selesai dengan sketsa aku pun mengambil cat air dan memberi sentuhan warna agar lukisan itu hidup. Kira-kira warna apa yang cocok untuk Soni? Aku akan menggunakan warna jingga matahari terbenam sebagai dasar lalu memberi tinta hitam ke rambut… atau tidak, mungkin ada baiknya sedikit melenceng dari kenyataan. Akan kulukis rambutnya seperti api, membara anggun nan kuat dibawah mentari. Tapi itu artinya ekspresinya tak akan cocok. Aissh, dilema oh dilema.

Pada akhirnya aku tak bisa menemukan tema yang cocok dan karena Soni mulai menggigil kedinginan aku pun menyudahi kegiatanku. Aneh, ini belum pernah terjadi saat aku melukis benda-benda atau buah-buahan tapi kenapa aku kesulitan melukis Soni dalam warna?

"Maaf membuatmu tak nyaman," bisikku sembari menatap dinding karena Soni tengah berganti pakaian, "tapi aku tak menyangka kau keluar kamar mandi sesantai itu."

"Aku tak tahu kau akan pulang cepat," balas Soni cemberut, "tapi kau malah bersikeras melukisku begitu. Dasar orang aneh. Kau boleh berbalik sekarang."

Ohh, jadi Soni sudah belajar mengumpat rupanya. Aku tak malah, kesannya justru menyegarkan karena selama ini dia selalu bersikap terlalu sopan.

"Kau udah masak belum? Kalau belum aku belikan nasi padang. Kau suka nasi padang?"

"Suka banget!"

Ekspresi cemberutnya mendadak hilang begitu saja. Semakin aku mengenalnya semakin aku sadar dia itu seperti anak kecil yang senang dibelikan es krim. Tunggu, jika dia anak kecil bukankah itu artinya aku ini orangtua? Hmm, semakin lama aku merasa hubungan kami semakin aneh.

Hubungan….

Kata-kata ahli kejiwaan itu terus saja membayang di benakku.

"Hei Soni," panggilku saat dia bersenandung membuka bungkus nasi, "sebenarnya hubungan kita ini apa?"

Tangannya membeku dikala aku menyampaikan pertanyaanku. Aku yakin dia juga tengah memikirkan hal yang sama. Kami bukan keluarga, bukan teman apalagi kekasih. Kami hanya dua orang yang semula tak saling kenal… dan masih tidak saling kenal. Selain nama dan sedikit latar belakang yang dia ceritakan sendiri aku tak tahu apa pun tentang Soni.

"Apa ini semacam test?" tanyanya.

"Test apa? Tidak, aku tak akan mengusirmu meski kau tidak menjawab."

"Kalau begitu…." Matanya melayang ke langit-langit. Untuk beberapa saat dia diam sembari memangku dagunya dengan tangan dan kemudian dia menjawab. "Aku model dan kau seniman. Kurasa itu cukup jelas kan?"

"…. Ya, itu mudah dimengerti."

Keheningan menjadi teman dalam kontes adu tatap yang kami lakukan dan kemudian tawa kecil keluar tanpa bisa ditahan. Kurasa aku terlalu berlebihan memikirkannya, aku senang dengan hubungan kami yang seperti ini dan itu sudah cukup.

"Sudah kuduga, kau memang paling cantik saat tertawa."

Aku memindahkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya agar aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dia tersipu malu dan mau tak mau aku merasakan dorongan untuk mengenalnya lebih dekat. Karenanya aku menjulurkan jari telunjukku dan menyentuh pipinya. Dia melirikku keheranan, tapi tidak memprotes apa yang aku lakukan jadi aku menjulurkan jari jempolku juga dan mencubit pipinya pelan.

Sekarang aku mengerti mengapa aku tak bisa menyelesaikan lukisanku tadi. Aku tak tahu apa-apa tentang Soni dan karenanya aku tak bisa memilih mana yang paling cocok untuknya. Kulitnya yang pucat nan lembut ini sama sekali tak cocok dengan api dan sifatnya sama sekali tidak cocok dengan kekuatan. Harusnya aku memberi latar kuning cerah dan beberapa daun yang gugur. Hutan, atau mungkin taman bunga, itu akan jadi lokasi yang indah.

Hubungan dengan orang lain adalah obat untuk jiwa. Meski enggan mengakuinya tapi yang Rui katakan ternyata benar, aku merasa jauh lebih baik setelah mengenal Soni. Entah seperti apa pun hubungan kami keberadaan Soni tetap akan menjadi obat bagiku dan aku berharap, sangat-sangat berharap agar obat itu tidak akan pernah habis.

Memeluk JiwamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang