Sudah benar-benar gelap saat aku akhirnya mencapai lantai lima. Aku berdiri di depan pintu, membuka kuncinya perlahan-lahan. Jika ditanya mengapa aku mengunci pintu maka jawabannya adalah karena aku belum mempercayai Soni sepenuhnya. Bisa saja kan dia sebenarnya anggota grup kriminal yang berpura-pura menjadi anak sebatang kara untuk merampok barang-barangku?
Dan karenanya aku merasa lega saat mencium aroma rebusan sayur menyambutku pulang. Setelah pekerjaan yang begitu melelahkan aku jadi merasakan keinginan untuk makan banyak, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak aku pindah kemari.
"Welcome back," sambut Soni dengan senyum lebar. Entah mengapa aku merasa kami ini seperti pasangan pengantin baru yang masih lovey-dovey.
"Aku… pulang."
Saking lelahnya aku langsung membanting diri ke tempat tidur tanpa repot-repot mengganti pakaian. Samar-samar aku merasakan seprai sudah diganti sehingga debu dan pasir yang masih ada pagi tadi menghilang tanpa jejak.
"Kamu mau langsung makan? Atau mandi dulu?" tanya Soni. Aku tak merasa berkeringat banyak seharian ini jadi aku mencoba bangkit untuk berjalan ke meja makan tapi kakiku mendadak terasa seperti jelly. Padahal hanya satu minggu aku cuti kerja tapi rasa lelahnya membuat tak bisa berdiri.
"Aku mau disuapin boleh?"
Tak ada yang serius dari perkataanku, sebenarnya aku hanya ingin sedikit menggodanya, tapi ternyata Soni benar-benar membawa piring ke tempat tidur dan menyuapiku layaknya seorang ibu menyuapi bayi.
"Aaaaa…."
Ciyus?
Aku tak ingat kapan terakhir kali aku disuapi jadi aku membuka mulut dan membiarkan Soni menyuapiku. Namun, satu kunyahan sudah cukup untuk membuat kami berdua merasa malu sendiri. Situasi macam apa sih ini?
"Kalau boleh tahu, kamu sebenarnya kerja apa?" tanya Soni begitu kami sudah duduk dengan piring di tangan masing-masing.
"Nggak jelas," keluhku, "aku bisa jadi graphic designer, character designer, animator dan bahkan photo editor. Ya ampun, kapan sih Si Boss rekrut lebih banyak karyawan? Mungkin dia ingin melihat kami mati kelelahan agar tak perlu membayar gaji kami."
"Imajinasimu cukup ekstrim ternyata. Tapi banyak kerjaan artinya gajinya tinggi kan?"
"Yah… nggak juga. Namanya juga perusahaan baru, gaji masih seadanya."
Bahkan uang jajan yang diberi Boss tadi nyaris tak cukup untuk membeli semua yang kuperlukan. Kalau boleh jujur, uangku sudah benar-benar menipis. Aku bahkan tak yakin apakah uang itu bisa bertahan hingga akhir bulan.
Saat selesai makan dan Soni mencuci piring, aku diam-diam membuka dompetku dan merasakan kecemasan mengalir ke kepala. Sudah kuduga, harusnya aku memang tidak membeli semua tipe pensil itu. Kenapa sih aku selalu tak bisa menahan diri untuk tidak membeli semua jenis cat yang terpajang? Apa jangan-jangan para pegawai disana menghipnotisku?
"Kamu beli banyak sekali barang."
Samar-samar aku mendengar suara Soni jadi aku buru-buru menutup dompetku. Untungnya perhatian Soni sepenuhnya terpusat barang-barang yang kubeli di pojok ruangan.
"Pesananmu yang di plastik hitam. Aku tak tahu mana yang harus kupilih jadi kubeli saja beberapa."
"E-em, terima kasih."
"Tak usah sungkan, kakakku dulu sering menyuruhku membeli itu."
Harga pembalut memang tidak begitu mahal, tapi ada baiknya jika aku memasukkan itu dalam catatan pengeluaran bulanan. Sebelumnya aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti catatan pengeluaran, tapi sebaiknya aku mulai melakukan itu mulai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...