Hari Minggu tiba dalam sekejap mata. Aku mencoba menata rambutku dengan sedikit minyak rambut dan berpendapat bahwa itu mengerikan sehingga aku membiarkan rambutuku begitu saja, sama seperti biasa. Aku tak ingin beranggapan bahwa hari ini adalah hari yang spesial karena kami hanya akan berjalan-jalan menikmati sore, tak ada yang lain.
Sebaliknya, Soni tampak begitu panik. Awalnya dia menolak ajakanku, tetapi setelah kubilang aku tak mau pergi tanpanya akhirnya dia setuju. Aku sudah mengurung jiwaku sendiri selama sebulan lebih dan aku juga sudah mengurung tubuh Soni di ruangan ini di waktu yang sama. Sudah waktunya bagi kami memperoleh sedikit kebebasan.
Rencananya sederhana, aku akan keluar kamar lebih dulu untuk memastikan tak ada tetangga yang melihat dan kemudian Soni akan segera keluar dan kami bisa pergi dengan bebas. Sebenarnya itu kehati-hatian yang tidak perlu, sejauh yang aku lihat penghuni rusun lantai lima ini bukanlah orang yang terlalu peduli dengan orang lain. Sejujurnya aku bahkan tak tahu nama-nama mereka.
Aku melihat Soni menutup pintu dan sembari terus menolehkan kepala ke kanan dan kiri dia berjalan cepat menyusulku yang menunggu di tangga. Sekilas aku bisa melihat Soni menghindari pandangan ke kamar lamanya. Kamar itu masih belum berpenghuni.
"Tak ada yang melihatku kan?" tanyanya panik meski kami sudah turun cukup jauh.
"Kau ketakutan sekali, bahkan jika kau terlihat pun itu bukan masalah. Yang penting fakta bahwa kita tinggal satu kamar tidak ketahuan. Itu saja."
Di lantai satu Soni memilih memakai masker untuk menutupi wajahnya. Tuan Tanah mungkin masih mengingat wajahnya jadi ini pilihan yang paling bijak. Sayangnya Soni tetap tak melepas maskernya meski kami sudah duduk nyaman di KRL.
"Kau punya wajah yang cantik Soni, apa kau harus menyembunyikannya?"
"Maaf."
Hanya satu kata singkat yang menjadi jawabannya dan dia tetap menyembunyikan wajahnya. Aku tidak akan memaksa dan itu juga tidak terlalu penting. Namun, beberapa hari ini hujan turun setiap malam sehingga udara menjadi sedikit lebih bersih, cukup aneh untuk memakai masker.
Sudah lama aku tidak berbelanja ke mall besar. Mall selalu identik dengan orang-orang kaya dan barang-barang mewah sehingga orang sepertiku tak ada urusan sama sekali di tempat ini. Meski demikian mall selalu menjadi tempat wajib untuk dikunjungi jika hanya sekedar ingin menghabiskan waktu dan hari ini ada promo spesial yang menjadi alasan mengapa aku bersikeras mengajak Soni.
"Cantik sekali! Baju itu sungguh cocok dengan Anda."
Suara si pegawai toko baju terdengar riang dan licin, suara khas yang sudah dihafalkan. Aku setuju bahwa baju itu cocok dengan Soni, tetapi karena Soni memakai masker maka cantik bukanlah pujian yang tepat. Terlebih lagi jika aku melihat lebih seksama warna merah kurang cocok untuk Soni, mungkin kepribadiannya yang tidak cocok.
Kurasa putih atau abu-abu adalah warna yang paling cocok untuknya, akan tetapi aku memilihkan beberapa baju berwarna biru dan hijau untuk dia kenakan. Uhh, aku benar-benar ingin mengeluarkan pensil dan melukisnya sekarang juga. Tahan, tahan, penjaga toko itu akan mengusirku jika aku lepas kendali.
"Bagaimana denganmu Soni? Ada baju yang kau suka?"
"Eh?! Kau benar-benar mau beli ini untukku?"
"Tentu saja, untuk apa lagi kita ke toko baju kalau bukan untuk belanja?"
"Kupikir kau hanya ingin melukisku dengan baju yang cantik."
Itu memang benar sih tapi malu juga rasanya jika dia mengatakan itu terus terang.
"Tak masalah, hari ini aku akan belikan semua yang kau mau."
"Memangnya kau punya uang?"
"Beberapa hari lagi aku gajian jadi jangan khawatir."
Meski aku bilang begitu tapi Soni tetap tidak memilih apa pun, begitulah Soni. Akhirnya kami pergi dari toko baju hanya dengan satu baju yang menurut kami berdua paling bagus.
Pemberhentian berikutnya, toko buku.
"Sudah kubilang tidak usah," pinta Soni lirih.
"Sudah kubilang tidak masalah. Lagipula sebagian uang di dompetku ini juga uangmu. Ingat kan, kartu ATM yang kau beri padaku?"
Soni dilanda dilema begitu mendengarnya. Selagi pikiran dan perasaannya berperang satu sama lain aku membawanya berkeliling rak-rak novel dan begitu tiba di sana perasaan Soni tampaknya berhasil memenangkan perang, dia mulai memilih buku-buku yang dia suka.
Selesai dengan area fiksi aku membawanya ke area seni. Ada beberapa buku mengenai desain grafis yang bagus. Karena selama ini aku hanya belajar melalui internet kurasa sudah saatnya untuk belajar dari sumber yang layak. Si bocah kurang diajar bernama Viktor itu sering sekali mengeluh akan kurangnya kemampuanku jadi mari bungkam mulutnya dengan ini.
"Kau yakin cuma beli dua?" tanyaku sebelum kami tiba di meja kasir.
"Yakin. Aku paling suka karya penulis ini."
Awalnya aku ingin dia membeli lebih banyak, tetapi jika dipikirkan lagi maka membeli banyak sama artinya dengan tidak perlu belanja lagi untuk waktu yang lama. Mungkin dia akan membaca dua buku itu dalam satu minggu dan kami bisa belanja lagi minggu depan. Kuharap.
Selesai dari toko buku aku mengajaknya meninggalkan mall yang dia patuhi dengan senang hati. Kurasa Soni tak akan suka jika aku mengajaknya ke tempat yang terlalu mahal seperti restoran jadi aku memutar otak dan memilih taman kota terdekat agar kami bisa bersantai sembari mencari beberapa jajanan untuk mengganjal perut.
Layaknya sebuah mukjizat, alam seolah berpihak pada kami. Cuaca siang ini tidak begitu panas dengan banyak awan dan angin sepoi-sepoi yang sejuk, keadaan taman juga tidak terlalu ramai sehingga aku dan Soni bisa mengamankan tempat duduk di bawah pohon rindang, menunggu hingga abang tukang bakso mengantarkan pesanan kami.
"Sudah lamaaaaaa sekali tidak refreshing seperti ini."
Aku menghirup nafas dan mencium aroma rumput yang baru dipotong memasuki hidungku, menyegarkan pikiran yang kalut ini.
"Dulu Ryan pernah bilang kalau dia akan ajak anaknya jalan-jalan ke taman setiap minggu…."
"Jangan dipikirkan," tegur Soni.
"Ya… ya. Aku nggak apa-apa kok."
Setelah seharian tersembunyi, Soni akhirnya melepas maskernya saat pesanan kami tiba. Layaknya pencuri yang mengamati rumah incarannya, aku mengamati dengan amat sangat teliti saat bakso bulat itu ditusuk menggunakan garpu, dibawa ke mulutnya lalu dilumat oleh bibirnya yang tipis. Benjolan yang tercipta di pipinya di kala bakso itu berdiam di mulutnya terlihat amat menarik. Ingin sekali aku mencubitnya tapi Soni langsung menelan bakso itu bulat-bulat dan menatapku galak.
"Apa kau tidak mau makan?" tanyanya sembari tersenyum manis mengancam. Ekspresinya itu belum pernah kulihat sebelumnya dan itu amatlah indah. Aku bersyukur sudah mengajaknya.
"Shade?"
Suara familiar yang muncul dari belakang membuatku tersentak dan menoleh secara refleks. Aku menelan ludah, merasa ingin segera lari tanpa membayar bakso yang belum kumakan ini.
"Ternyata benar Shade, lagi pacaran ya?"
Kenapa Rui bisa ada di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Jiwamu
RomanceShade adalah seorang pelukis yang tengah kehilangan jati dirinya. Dia ingin melukis sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang cukup indah untuk membuatnya bersemangat. Sampai suatu hari, dia melihat tetangganya yang hendak melompat dari lantai empat. Di...