Double nih
Happy reading...
Malam ini, Devan tengah duduk di kursi belajarnya dengan tangan memegang kertas origami yang dulu Cakra berikan.
Pikirannya melayang saat kejadian tadi siang, dimana dia baru saja mengetahui fakta bahwa adiknya itu sakit. Fakta jika penyakit itu sama dengan penyakit yang telah merenggut opa-nya dulu. Dia pernah melewati masa ini sekali, tetapi kenapa rasanya menjadi sulit jika itu menyangkut Cakra?
Devan jadi teringat ketika Cakra pulang dari sekolah dan langsung mencari bukunya yang hilang.
"Tadi pagi Cakra bilang kan kalo Cakra abis kerjain tugas semalaman, terus tadi pas mau dikumpulin bukunya ga ada di tas, bukunya hilang Mamah."
"Itu bukan hilang, lo lupa kali."
"Cakra ga lupa! Udah Cakra bilang Cakra ga lupa!"
"Buku Cakra hilang di sekolah, Cakra ga lupa ayah, bukunya sudah Cakra taro di tas, tapi pas mau dikumpulkan sudah tidak ada, Cakra ga bohong Cakra juga ga lupa ayah, Cakra beneran ga lupa."
Devan juga teringat ketika Cakra terjatuh dari tangga, padahal jelas-jelas dia melihat sendiri jika kaki Cakra tidak tersandung sama sekali dan dia juga teringat ketika akan pulang ke rumah sakit, tangan Cakra bergetar setelah buah pisang jatuh dari genggamannya. Itu bukan karena lapar, tapi itu salah satu gejala dari penyakitnya. Devan tahu, karena opa juga pernah mengalaminya saat sedang bersama dengan Devan dulu.
"Lo pasti takut banget, ya. Kalo lo lupain orang-orang dan ngerasa sendirian. Gue mungkin bukan Abang yang baik, tapi gue janji bakalan jagain lo semampu gue," lirih Devan dengan tatapan kosongnya.
Cklek
Pintu terbuka menampilkan David yang membawa segelas susu, matanya menatap Devan yang bergeming pada posisinya.
Bunyi gelas yang diletakkan berhasil membuat Devan menoleh menatap sang ayah yang berdiri dengan mata terlihat sembab.
"Jangan kaya gini, Bang," ucap David lalu duduk di tepi kasur milik Devan.
"Jangan buat Cakra ngerasa kalau dia di kasihani, jangan menunjukkan wajah kasihan padanya, itu justru akan membuat hatinya sakit dan berpikir jika dia hanya beban di keluarga ini." David menatap punggung Devan yang bersandar pada kursi belajarnya. Kalau boleh jujur, David sangat takut saat ini.
"Devan cuma takut, takut kalau Cakra seperti opa, Devan juga takut kalau Cakra pergi ninggalin Devan sama seperti adek dulu, Pah. Dulu Devan ga ngerti apapun karena masih kecil, tapi sekarang berbeda," lirih Devan.
Yah, alasan sebenarnya Devan sulit menerima Cakra bukan hanya karena takut kasih sayang orangtuanya terbagi, tetapi juga takut kalau Cakra pergi seperti sang adik dan itu merupakan mimpi buruk baginya. Dulu Devan tidak terlalu merasa kehilangan karena ketika adiknya pergi dia masih berusia sekitar 3-4 tahun, berbeda dengan sekarang. Jelas itu akan sangat menyakitkan.
David yang mendengar itu menatap langit-langit kamar berharap air matanya tidak menetes kembali. Ntah, kenapa jika sudah menyangkut putra-putranya, David menjadi sangat rapuh. Dia jadi teringat dengan anak bungsunya dengan Sofia, dia sudah pernah kehilangan dua anak, dia tidak ingin kehilangan lagi.
"Cakra tidak akan seperti opa, Cakra juga tidak akan pergi, Cakra tidak akan kemana-kemana. Kita usaha bareng-bareng, adek kamu udah semangat mau meminum obatnya dan itu sudah termasuk kemajuan."
Devan mengubah kursi yang dia diduduki menghadap ke arah David saat mendengar suara bergetar milik papahnya.
"Papah kalau emang mau nangis, nangis aja. Devan tau kalau Papah mengatakan itu hanya untuk meyakinkan diri Papah sendiri, kan? Devan sudah besar Pah, Papah bisa berbagi beban Papah sama Devan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORIES (Terbit)
Teen FictionTersedia di shopee Penerbit.LovRinzOfficial (Belum di revisi) ___________________ Ini adalah kisah dari Cakra, seorang remaja yang baru saja bertemu dengan ayahnya setelah sekian lama, bukan hanya sang ayah, tetapi dia juga bertemu dengan anak dan i...