Akhir kesedihan-short story

3.3K 290 38
                                    

Happy reading


Di bawah langit siang yang tampak kelabu, ditemani suara debur ombak yang menabrakkan diri pada karang, Devan terduduk di tepi pantai dengan perasaan yang masih sama seperti waktu itu.

Orang-orang berkata bahwa semuanya akan membaik seiring berjalannya waktu. Namun, nyatanya tidak seperti itu. Waktu tidak bisa menyembuhkan lukanya, waktu juga tidak bisa mengisi kekosongan yang ada pada dirinya. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar, tetapi di sana—jauh di lubuk hatinya yang paling dalam masih ada kesedihan yang begitu pekat. Hatinya masih lebam-lebam dan membiru, tidak ada satu pun yang sembuh.

Pada waktu-waktu tertentu dia masih berpikir bahwa bertemu dengannya hanyalah sebuah mimpi buruk, dia hanya perlu bangun dan melanjutkan kehidupan yang baru. Namun, nyatanya sekeras apa pun dia berpikir seperti itu, dia akan kembali jatuh pada jurang kesedihan yang paling dalam. Terperosok begitu jauh hingga membuat dia kesulitan bernapas, membuat dirinya sendiri semakin terluka.

Dan pada waktu-waktu tertentu juga, setelah kepergiannya, Devan pikir waktu akan berhenti, langit akan runtuh. Namun, nyatanya waktu dialah yang berhenti di sana, sebab sampai sekarang pun langit masih kokoh berada di atas sana, waktu terus berjalan, dan kehidupan masih terus berlanjut. Hanya dirinya yang terjebak pada lubang kesedihan dan tidak tahu caranya keluar. Atau yang lebih parahnya lagi, dia menolak untuk keluar dari sana.

Embusan angin siang itu terasa begitu dingin, pantai yang seharusnya ramai karena musim liburan telah tiba, justru sangat sepi sebab hujan mungkin akan turun sebentar lagi. Hanya orang gila yang akan datang ke sana untuk duduk menyepi dan menatap besarnya ombak besar di siang hari.

Merasakan ponsel di saku jaketnya bergetar, Devan mengambilnya; ada pesan singkat dari Aletta yang bertanya sedang berada di mana dia sekarang. Lalu tanpa ingin membalasnya, dia kembali memasukkan ponselnya ke tempat semula.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Devan memejamkan mata sejenak. Bayang-bayang itu masih ada di sana, melekat erat pada ingatan. Dan tepat ketika dia membuka mata, tetesan air berlomba-lomba turun membasahi bumi, membuat dia berdiri dan langsung melangkahkan kaki menuju tempat motornya terparkir.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini dia juga melewati jalan yang sama—jalan di mana kehidupan dia mulai berubah, jalan yang membuat dia berpisah dengan adiknya. Jika saja ada jalan lain yang bisa dia lewati, dia tidak mau melewati jalan ini. Sebab setiap kali kemari, perasaan itu akan kembali hadir, ingatan itu akan berputar kembali. Hari di mana dia menyaksikan adiknya terbaring dengan darah yang mengalir, benar-benar membuat dadanya sesak bukan main.

Jadi, setiap kali melintasi jalan tersebut, Devan akan menarik napas dalam-dalam, menyentuh dadanya yang terasa sesak sebab jantungnya berdegup begitu kencang. Dan ketika dia berhasil melewatinya, dia akan mengembuskan napas panjang.

Bermenit-menit berlalu, hujan deras mulai mengguyur. Namun, bukannya kembali ke rumah, dia justru terus memacu kuda besinya menerobos hujan yang semakin lebat. Tidak peduli pada bajunya yang sudah basah kuyup, dingin yang memeluk sampai tubuhnya menggigil, dia terus melaju dan baru menghentikan motornya pada sebuah bangunan sederhana di pinggir jalan—sebuah toko yang sering dia kunjungi selama satu tahun ini.

Dengan tetesan air yang terus membasahi tubuhnya, dia melepas helm. Mengetuk kaca jendela dengan pelan, membuat seorang perempuan berusia sekitar 23 tahunan yang tengah mengambil beberapa bunga menoleh, menyunggingkan senyuman.

"Masuk aja, Mas!" Perempuan itu berteriak, membuka pintu kaca bertuliskan open jika dilihat dari luar.

"Nggak usah, Mbak. Baju saya basah kuyup. Tolong ambilkan satu ikat bunga kaya biasanya aja!"

MEMORIES (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang