Pulang kerja Airin menyempatkan singgah di rumah kakeknya. Ia memang sering ke pesantren, meski sering mengunjungi kakek neneknya, ia tidak pernah bertemu keluarganya. Karena jika keluarganya berkunjung ke rumah kakeknya, Airin bersembunyi dan tidak pergi ke sana. Katakanlah bahwa ia menghindari mereka, pada kenyataannya memang seperti itu. Bukan tidak ingin bertemu mereka, hanya saja ia belum ingin bertemu keluarganya. Ia rindu, ia kangen dengan mereka. Sudah empat tahun ia tidak pernah bertemu mereka lagi. Terakhir bertemu saat sidang perceraiannya, itu terakhir kalinya ia bertemu keluarganya.
Semenjak hari itu, keluarganya merasa kehilangan Airin, mereka terus mencari keberadaannya namun, tidak juga tahu di mana Airin. Sebenarnya Airin tahu keluarganya sedang mencarinya, ia meminta kakek neneknya dan juga saudara-saudara bundanya agar tidak memberitahu keberadaannya. Syukurnya mereka mau tutup mulut meski sebenarnya sangat ingin memberitahu Zoya, bunda Airin tentang keberadaan putri bungsunya.
"Kamu sendirian?" tanya Lilis nenek Airin.
"Bareng si kembar, Nek. Mereka ikut Fizi metik rambutan," jawab Airin ikut duduk di samping sang nenek. "Kakek mana?" tanyanya.
"Di kantor utama, lagi ada tamu."
Airin merebahkan tubuhnya di sofa, paha neneknya yang menjadi bantalnya. "Capek, Nek."
"Kalau capek jangan pergi bekerja, Cu. Cukup istirahat di rumah saja, jangan selalu sibuk bekerja," ucap Lilis sambil mengusap kepala sang cucu yang terbalut hijab.
"Hem," gumam Airin memejamkan matanya menikmati usapan lembut dari sang nenek.
"Assalamualaikum ... yuhu Erika datang!"
"Wa'alaikumussalam. Kebiasaan datang teriak-teriak!" tegur Lilis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lagi tidur ya tuh janda?" tanya gadis yang bernama Erika itu.
"Kakak sepupu kamu kecapean."
Erika mendekati Airin. "Kak Airin, minta uang dong ..." ucapnya.
Airin berdecak kesal, lalu membuka matanya menatap gadis itu. "Tadi ngatain janda, sekarang malah minta duit sama kakak."
"Yealah, baperan banget kamu, Kak. Tapi bener janda, 'kan?"
"Ya gak usah diingetin juga!" balas Airin.
"Memangnya Kakak lupa?"
Airin memutar bola matanya malas. "Ambilkan tas kakak. Mau beli apa sih?"
"Yeay!" Erika langsung mengambil tas Airin yang ada di atas meja. "Aku mau ke minimarket, Kak. Mama gak mau ngasih uang, gara-gara ketahuan bolos."
"Makanya, jangan cari gara-gara! Ngapain bolos-bolos segala?"
Erika menyodorkan tas pada Airin. "Mau membuat kenangan indah. Kakak kek gak pernah muda aja. Pasti Kakak dulu nakal banget kan?"
"Kakak sepupu kamu ini gak usah ditanya, lebih dari bolos dia mah," jawab Lilis. "Dia pernah di kirim ke sini supaya memperbaiki sifatnya. Itu gara-gara apa ya kemarin?"
"Bawa rokok, padahal mah cuma iseng aja," jawab Airin. "Nih." Airin memberikan selembar uang berwarna merah pada adiknya itu.
Mata Erika berbinar mengambil uang itu. "Makasih Kak!" ucapnya. "Kakak bisa ngerokok?"
"Enggaklah! Mana berani kakak ngerokok waktu SMA, cuma beli aja. Kebanyakan uang, gak tau mau digunain apa."
Erika memutar bola matanya malas, jawaban Airin terdengar menjengkelkan. Hanya karena kebanyakan uang, sampai beli rokok. "Terus kenapa dikirim ke sini?"
"Bunda gak percaya sama kakak. Mereka tetap berpikir kalau kakak ngerokok. Dikirim deh ke sini, waktu itu mau libur karena puasa. Setengah bulan kakak di sini, disuruh mondok, tinggalnya di asrama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Airin, Single Mom (End)
Novela JuvenilTiga hari setelah resmi bercerai, Airin baru tahu bahwa dirinya tengah hamil. Ia merahasiakan kehamilannya dan memilih mengasingkan diri tinggal di sebuah villa yang ada di hutan Kalimantan Selatan. Di sana Airin memulai kehidupan barunya bersama a...