Single Mom: Chapter 14

18.5K 1.2K 60
                                    

Langit yang terlihat mendung itu sudah cukup menggambarkan suasana hati orang-orang yang berada pemakaman.

Proses pemakaman sudah selesai, satu persatu orang-orang yang hadir di pemakaman beranjak meninggalkan area pemakaman. Kini tersisa hanya keluarga dan orang-orang terdekat.

Kepergian Ibrahim tentu saja menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi seluruh keluarga besar dan orang-orang terdekat.
Mereka semua berduka, mereka semua sedih, mereka semua merasa kehilangan. Sabar dan ikhlas, itulah yang harus mereka lakukan, mereka harus ikhlas dengan kepergiannya. Mereka berusaha untuk menerimanya karena setiap keadaan sudah jadi ketetapanNya.

Mati, itulah yang akan semua orang alami. Jika sudah tiba waktunya, maka ia tetap juga pergi, karena itu sudah menjadi perjanjiannya dengan Allah. Kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Begitupun tidak bisa ditunda meski hanya sedetik saja, kematian tidak memandang siapa orang itu, si miskin, si kaya, tua, muda, anak-anak bahkan bayi yang baru keluar ingin melihat dunia saja bisa meninggal jika memang sudah itu takdirnya, semua orang pasti akan mati, kapan dan di mana manusia tidak ada yang tahu.

Airin terdiam menatap kosong gundukan tanah yang ada di depannya. Papanya sudah dimakamkan, papanya benar-benar pergi, masih sangat sulit ia percayai dengan apa yang terjadi. Ia ingin, apa yang terjadi saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, jika nanti ia terbangun ia masih bisa melihat papanya. Namun, apa yang ia alami adalah sebuah kenyataan, kenyataan pahit yang harus ia terima. Allah lebih sayang dengan papanya.

"Dek, ayo pulang," ucap Intan.

"Kalian duluan saja," jawab Airin lirih tanpa mengalihkan tatapannya.

Intan, Amelia dan Eliza beranjak pergi meninggalkan pemakaman diikuti oleh keluarga yang masih berada di sana. Zoya? Zoya tidak bisa ikut, beberapa kali wanita itu pingsan saking sedihnya ditinggal pergi oleh sang suami. Sedangkan anak-anak kecil, memang tidak diizinkan untuk ikut ke pemakaman.

"Ayo kita pulang," ucap Nadine yang sedari pagi selalu ada di sampingnya.

"Sebentar lagi hujan," lanjut Tasya menggenggam tangan Airin. Di belakang mereka, ada dua pria yang juga masih bertahan, mereka adalah calon suami Tasya dan Nadine.

Airin mengalihkan pandangannya menatap kedua sahabatnya. Lama terdiam akhirnya ia menurut, karena cuacanya terlihat sangat mendung.

"Aku pulang ya, Pa ... Nanti aku pasti akan datang jengukin papa lagi." Airin mengusap air matanya yang kembali menetas. "Kami duluan." Airin menatap kakek, kakak-kakak iparnya dan paman-pamannya yang sedang membaca Al-Qur'an.

"Iya."

Nadine menggenggam tangan kiri Airin, sedangkan tangan kanannya digenggam Tasya. Kedua wanita itu jaga-jaga takut Airin tiba-tiba pingsan, wajahnya terlihat sangat pucat.

"Kuat jalan?" tanya Tasya mengkhawatirkan kondisi Airin.

"Kuat."

Mereka masuk ke dalam mobil, jarak pemakaman dan rumah lumayan jauh, tapi tidak terlalu jauh.

"Langsung pulang?" tanya pria berbaju abu-abu.

"Memangnya mau kemana? Langsung pulang lah!" jawab Nadine.

"Baik, Nyai ..." Pria itu langsung menginjak pedal gas dan pergi meninggalkan kawasan pemakaman umum.

Sepanjang perjalanan Airin hanya diam sambil memejamkan matanya bersandar di bahu Tasya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Sesampainya di rumah, Airin disuruh Eliza untuk langsung ke kamar dan istirahat, ia sadar, kondisi adiknya saat ini kurang baik.

Sampai di kamar, Airin langsung membersihkan badannya, ia mandi terlebih dahulu.

Airin, Single Mom (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang