Weekend selalu Airin gunakan waktunya seharian bersama kedua anaknya. Tidak hanya berdiam di villa, tapi dengan mengajak kedua anaknya jalan-jalan. Jika hari libur ia memang sering mengajak mereka keluar terkadang juga, ia mengajak anaknya keluar kota, bahkan keluar negeri pun pernah. Jiwa travelingnya masih ada, menurun kepada si kembar. Mereka juga suka jalan-jalan, sama seperti bundanya.
Seperti saat ini, ia sedang berada di taman Bungas bersama kedua anaknya. Airin dan si kembar baru selesai lari pagi dan sekarang Airin duduk di bangku yang ada di taman sambil mengawasi si kembar yang sedang bermain perosotan bersama anak-anak lainnya.
Meski libur kerja hanya Sabtu Minggu, Airin selalu menggunakan waktu itu untuk mengajak si kembar bermain di luar. Tidak mempunyai tetangga bukan berarti ia dan anaknya anti sosial, Airin tidak ingin itu terjadi. Dengan mengajak mereka bermain diluar dan berbaur dengan anak-anak seusianya mungkin adalah pilihan yang tepat.
Pandangan Airin jatuh pada sosok keluarga yang terlihat bahagia di ujung sana. Ada ayah, ibu dan anak. Anak itu terlihat sangat bahagia saat sang ayah menggendongnya sambil berputar-putar.
"Apa keputusanku untuk tidak menikah salah? Apa aku terlalu egois karena tidak ingin menikah?" tanya Airin pada dirinya sendiri.
Tentang ayah si kembar ... mereka pernah bertanya apakah mereka mempunyai ayah, Airin menjawabnya iya, tapi ia memberikan alasan bahwa mereka tidak bisa tinggal bersama. Ia juga memberikan alasan bahwa ayah mereka sibuk bekerja, belum waktunya mereka bertemu. Katakanlah bahwa ia egois, memang, karena ia belum siap bertemu dengan pria itu. Airin merasa benar-benar belum siap bertemu. Airin yakin, mantan suaminya pasti sudah bahagia saat ini bersama keluarga kecilnya. Ia juga bahagia, kebahagiaannya adalah si kembar, hadirnya si kembar yang sudah membuatnya bahagia.
"Bunda apa kabar?" lirih Airin mendongak menatap langit.
Bohong jika ia tidak merindukan keluarganya, pada kenyataannya, ia sangat-sangat merindukan mereka. Apalagi dengan sang bunda, ia ingin bertemu bundanya, memeluk bundanya dan mencium pipi bundanya. Namun, egonya lebih tinggi, ia juga merasa belum siap bertemu keluarganya. Yang pasti nantinya ia akan menemui mereka, tapi bukan sekarang.
"Bunda ..." Aera melambai-lambaikan tangannya naik ayunan dan sang Abang mendorongnya dari belakang.
Airin tersenyum menatap kedua anaknya, raut wajahnya yang sedih kini sudah hilang, diganti dengan senyuman manis.
"Hati-hati mainnya," ucap Airin.
"Ehem ..." Sontak Airin menoleh ke samping mendengar suara seseorang.
"Mas Wildan?"
"Boleh duduk di sini?" tanya pria itu menunjuk bangku kosong sebelahnya.
"Iya, Mas," jawab Airin. "Sama siapa, Mas?"
"Tuh, sama Wulan, dari kemarin-kemarin minta ajak ke taman."
Airin menatap gadis cantik yang lebih tua satu tahun dari kedua anaknya. "Baru sadar ada Wulan di sana."
"Kamu habis jogging?"
"Iya nih, sekalian ngajak si kembar main."
"Aela! Bunda kamu kenapa dekat-dekat papa aku?!" tanya Wulan menghampiri Aera.
"Papa kamu tuh yang deketin bunda Aela! Dali tadi bunda duduk di cana, papa kamu aja yang datang deketin," balas Aera menatap tajam ke arah gadis itu.
"Aku ndak mau punya adek sepelti kamu!"
"Ciapa juga yang mau punya kakak sepelti Ulan! Aela ndak mau!"
Wulan pergi meninggalkan Aera, kembali bergabung bersama teman-temannya. Kedua gadis itu memang tidak mempunyai hubungan yang baik. Wulan tidak suka papanya mendekati Airin, ia tidak ingin jika nanti papanya menikah dengan Airin ia dilupakan, apalagi nantinya akan mempunyai adek seperti Aera, ia tidak mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Airin, Single Mom (End)
Teen FictionTiga hari setelah resmi bercerai, Airin baru tahu bahwa dirinya tengah hamil. Ia merahasiakan kehamilannya dan memilih mengasingkan diri tinggal di sebuah villa yang ada di hutan Kalimantan Selatan. Di sana Airin memulai kehidupan barunya bersama a...