Part sebelumnya....
Mereka bertiga menegakkan kepalanya bersamaan lalu menoleh ke arah yang sama. Di sana Hasa berdiri dengan wajah yang nampak sedang frustrasi.
Lalu gadis itu melihati mereka bertiga secara bergantian saat sirine dari banyaknya mobil polisi samar-samar terdengar karena gedung ini memang tidak terlalu tinggi seperti gedung penthouse Jungkook sebelumnya.
"Siapa juga yang telah memanggil polisi?" tanya gadis itu lagi.
***
Tangan Jungkook meraba secara perlahan. Dia memegang pistol di tangannya dan Hasa tidak perlu melihat sejelas mungkin untuk bisa mengetahuinya. Yang gadis itu lakukan hanyalah berdiri di tempatnya dan menatap lurus ke mata si pria Jeon. Berharap jika pria itu menemukan sesuatu arti dari tatapannya.
"Apa yang kau pegang, Jeon?" tanya Hasa.
Tidak ada jawaban dari Jungkook. Hasa menyadari satu hal. Sejak dulu, dia tidak pernah menganggap bahwa kebisingan yang Jungkook lakukan dengan cara mengajaknya bicara adalah hal yang buruk karena hal buruk yang sesungguhnya adalah ketika Jungkook tak pernah bicara dan menjawabnya lagi seperti sekarang.
Seandainya saja ini adalah sebuah film atau mungkin novel, maka Hasa berharap sang penulis menggambarkan bahwa keadaannya sekarang sama seperti menerima tancapan puluhan pisau ke punggung maupun dadanya.
Suara sirine mobil polisi tidak kunjung berhenti. Hasa yakin jika para polisi itu sebentar lagi akan sampai di sini, untuk menangkapnya, mungkin. Tidak, bukan mungkin, itu sudah sebuah kepastian.
"Kau akan menembakku?" tanya Hasa lagi.
Berusaha menjaga nada suaranya agar tidak bergetar. Dia sudah merangkak, berjalan, berlari, mendaki, jatuh, dan seolah mati berkali-kali untuk hal yang sepertinya akan terjadi esok hari. Dia sudah mempersiapkan ini dan Hasa berupaya agar dia tidak goyah sekarang. Jeon Jungkook, bukan kekuatannya. Jeon Jungkook adalah kelemahannya.
Gadis itu melangkah dan Jungkook mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hasa dengan tegas. Pria itu menatapnya seperti seorang manusia menatap sosok yang telah menghancurkan hidupnya atau menatap seseorang yang jahat.
Bibir Hasa bergetar. Dia ... tidak jahat. Dia tidak pernah jahat. Dia juga tidak baik, tapi dia tidak jahat. Sungguh Hasa percaya itu. Dirinya tidak pernah jahat untuk orang yang baik, tapi mungkin saja dia iblis bagi orang yang jahat.
"Kau tidak mau berbicara denganku?" tanya Hasa lagi.
Jeon Jungkook. Jeon Jungkook. Jeon Jungkook. Ingatkah kau pada pertemuan pertama kita, pelukan pertama, ciuman pertama, hubungan romansa pertama. Hasa meneriakan itu dalam hatinya.
"Aku.... Aku tidak akan pernah menyakitimu," ujar Hasa. Kali ini bukan pertanyaan, sepertinya Jeon Jungkook hanya butuh pernyataan saat ini.
"Itu bohong," sahut Taehyung.
Hasa kini meliriknya. Oh, Kim Taehyung. Seseorang yang berhasil membuatnya memberikan rasa kasih sayang, selain Jeon Jungkook. Hasa memicingkan matanya. Kim Taehyung nampak jauh lebih menarik jika menatapnya hangat, tidak seperti sekarang.
"Kau yang melakukannya! Kau meledakkan panti asuhan itu?! Kau tidak memikirkan anak-anak? Kau gila?!"
"Aku tidak gila," jawab Hasa.
Taehyung menatapnya tidak percaya. Hasa menyentuh dadanya dengan satu telapak tangan. Dia menatap Taehyung sungguh-sungguh, lalu berganti menatap Jungkook, lalu Kim Soohyun yang masih diam.
"Aku tidak gila, aku sama seperti kalian, aku sehat. Tidak gila. Aku hanya—"
"Hentikan omong kosong ini, Hasa. Sudah cukup. Cukup, Hasa" potong Jungkook dan kedua pupil Hasa melebar. Suaranya tercekat, seolah otaknya merespon lebih cepat dari pada hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA ✓
Fiksi Penggemar[Be Wise: Mature] Ada dua tipe pria di dunia ini. Pertama, pria baik-baik. Kedua, pria yang nakal. Menurut rumor, Jeon Jungkook bisa menjadi keduanya. Jungkook itu diktator, dendi dan parlente, arogan, dan kejam. Hasa sendiri adalah orang yang meras...