5. [39]

745 170 11
                                    

Memakan waktu sekitar 40 menit untuk mencapai daerah pegunungan utara Desa Kartis. Setelah melewati beberapa perkebunan warga, akhirnya aku sampai di jalan setapak yang merupakan satu-satunya akses untuk mencapai lereng pegunungan itu.

Pegunungan utara berisi kumpulan dari gunung-gunung kecil yang membatasi Desa Kartis di bagian utara. Karena suhunya yang relatif lebih dingin, banyak warga desa yang membuat perkebunan di daerah ini, tapi tidak sampai merambah lereng.

Mereka percaya kalau daerah lereng merupakan area suci-tempat tinggal koloni peri yang dulunya membantu Raja Pertama Surran membangun kerajaan. Cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi.Walau begitu, tetap saja ada orang yang berani menjelajah daerah lereng. Kalau bukan karena orang itu, jalan setapak ini tidak akan ada.

Aku menelan ludah, menatap jalan setapak yang ada di depan mata.

"Jika kau dalam bahaya, tembakkan bom asap agar kami bisa mengetahui posisimu" pesan Gilian, menyelipkan sekantung bom asap ke saku mantelku.

" Apa kita benar-benar harus mengirimnya sendirian?"
Adrien menahan lenganku. Ia masih belum menyerah dengan rencananya untuk menemaniku.

Adrien, dia benar-benar sangat peduli kepadaku. Kadang-kadang bersifat protektif seperti sekarang. Aku tidak bisa menyalahkannya karena sejak kecil kami sudah bersama. Adrien diam-diam sudah menganggapku sebagai kakak perempuannya, walau ia malu untuk mengakuinya.

"Kau ingat kata Paman Robin?. Hanya perempuan yang bisa melihat bunga mitos itu. Jika kau ikut, bunga itu tidak akan menampakkan dirinya"

Adrien mencebik kesal. Kemudian dengan terpaksa ia melepaskan cengkramannya dari lenganku.

"Benar kata Gilian. Jika kau ikut, bunga itu tidak akan muncul" ujarku mendukung pendapat Gilian, meski sebenarnya aku takut pergi sendirian,
dan kepercayaan diriku lenyap begitu melihat luasnya area lereng yang akan dijelajah. Aku tidak bisa memberi tahu mereka tentang hal ini, mengingat satu-satunya harapan yang mereka punya adalah aku. Hanya aku.
Dan tidak ada perempuan lain yang cukup gila untuk mau pergi ke area lereng pegunungan sendirian. Malam pula.

"Maaf karena kami tidak bisa menemanimu Sofia. Kami berjanji akan berada di tempat ini sampai kau kembali"

Mereka menghantarku ke permulaan jalan setapak.

"Sampai berjumpa kembali nanti"

Aku mengangguk, kemudian berjalan ke depan sendiri. Langkah kakiku berat. Entah apa yang akan menantiku di tempat kurang terjamah ini.

●○●○●○●○

Aku terus berjalan melalui satu-satunya akses menuju daerah lereng.

Saat berangkat tadi, langit masih bewarna jingga keorenan. Dan sekarang warna indah itu berangsut hilang dan digantikan gelap. Hari sudah memasuki malam rupanya. Waktu yang kumiliki hanya sampai tengah malam.

Jika gerhana bulan benar-benar terjadi seperti ucapan Paman Robin, maka cahaya malam ini akan sangat minim.Untungnya aku membawa alat penerangan berupa cincin yang menyimpan sihir cahaya. Cincin ini dipinjamkan oleh kepala desa yang sangat suka mengoleksi perhiasan sihir.

Berbicara tentang perhiasan sihir, bukankah aku juga memilikinya?.
Bros ungu yang menjadi petunjuk untuk mengungkap masa lalu.Terakhir kali aku menyimpannya di laci meja rias.Semoga bros itu tetap berada di sana.

Tidak terasa aku sudah berjalan selama 20 menit. Sudah cukup jauh dari posisi semula.

Aku mengarahkan cincin penerangan ke atas-menyorot kerimbunan pohon sebelah kanan dan kiri yang tinggi menjulang.

The Extra Seduce The Young Lord [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang