Apartemen lantai 5

313 52 5
                                    

Orkestra menyerupa deru ombak yang berpadu padan dengan lekukan anila yang kasat mata, masih menjadi pengiring setia dalam percakapan malam kedua lelaki yang kini masih terduduk di sebuah kursi dekat laut.

"Kemarin-kemarin aku masih bersyukur pada tuhan karna memberiku sosok sahabat seperti mu, tapi hari ini aku menyesali ucapan terimakasih ku padanya"

"Tidak masalah, karena aku sudah menyebut namamu dalam doaku"

"Percaya diri sekali kau" Gulf tertawa kecil meledek ucapan Tay

"Sangatt...aku sangat percaya jika kau memang takdirku"

"Berdoalah sampai kau lelah, karna sampai kapanpun tuhan tidak sudi mendengarnya"

"Sudah cukup mengulur waktu, sebaiknya katakan apa jawabanmu"

"Kau sungguh ingin tau apa jawabanku?"

"Tentu, katakanlah"

"Baiklah, dengarkan ini baik-baik, ku harap kau tidak benar-benar mati karna mendengar jawabanku"

"Aku harusnya bahagia karna jawaban mu adalah memilih ku"

"Kata siapa?"

"Kau tidak punya pilihan lain Gulf"

"Aku menolak untuk meninggalkan Mew" Gulf berbicara penuh penekan, diingin Tay mendengar dengan jelas tentang jawabannya

"Kau tidak mau meninggalkan Mew? Baiklah" Tay merogok saku celananya, lalu mengeluarkan ponsel dan menekan nomor seseorang untuk dihubungi.

"Clay, lakukan!"

Hanya dua kata saja yang Tay ucapakan pada lawan bicaranya di layar ponsel. Setelah itu tanpa perduli Gulf, Tay berdiri hendak meninggalkan Gulf. Namun Gulf sadar akan sesuatu yang baru saja ia dengar.

"Clay?" Batinnya, Gulf ingat nama itu adalah nama yang di ucapakan Mew saat tadi hendak pergi

Lalu Gulf ikut beranjak dari duduknya "Tay, siapa yang kau hubungi?" Gulf bertanya untuk memastikan jika pemikiran nya tidak benar

"Kenapa? kau pikir aku menghubungi siapa?"

"Katakan siapa Clay?"

"Sudah aku bilang, aku hanya memberimu dua pilihan, DUA" Tay memperjelas ucapannya dengan memperlihatkan dua jari pada Gulf

"Kau tidak mau meninggalkan Mew, itu artinya yang kau pilih adalah kehilangan Mew mu itu"

"Tay, kau gila" Tay hanya menggidikan bahu tanda tidak perduli

Secepat mungkin Gulf berbalik badan dan berlari, meninggalkan Tay yang masih berdiri melihat kepergiannya. Pikirannya langsung tidak karuan setelah apa yang Tay ucapkan, Gulf benar-benar diambang takut berlebihan, pasalnya ia tau jika sekarang Mew dalam ancaman.

Menyetir mobil dengan tergesa, mengambil ponsel di saku celananya, tangannya teramat bergetar begitupun dengan bibirnya. Gulf menekan nomor seseorang untuk dihubungi.

"Off, kau tau kan apartemen nya Clay?"

"Iyah aku tau"

"Kalau begitu cepat kirimkan alamatnya padaku"

"Tapi kenapa?"

"Kau kirimkan saja, aku membutuhkannya" Gulf menutup telepon terburu-buru, emosinya mulai tidak bisa dikontrol karna hawatir yang berlebih.

"Tidak, tidak, tidak......kau harus baik-baik saja, jangan tinggalkan aku Mew" Gulf meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja, sembari mengetuk-ngetuk jarinya diatas stir mobil.

Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, Gulf buru-buru membukanya, memastikan jika itu pesan dari Off.

Setelah mendapat alamat apartemen Clay, Gulf menambahkan kecepatan mobilnya agar cepat sampai agar membuat semua ucapan Tay tidak benar-benar terjadi pada Mew.

Berpacu dengan waktu, Gulf melalui jalanan tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri, yang terpenting sekarang ia harus bisa memastikan Mew kembali padanya dengan keadaan selamat seperti saat pergi meninggalkannya.

Setelah sampai di sebuah bangunan apartemen yang megah, Gulf sesegera mungkin turun dari mobilnya, ia berlari dengan perasaan was-was menghantui.

Brughh

Suara yang begitu kencang menghentikan langkahnya tepat di dekat pintu masuk gedung apartemen, saat percikan darah mengenai pipinya. Begitupun dengan orang-orang yang sedang lalu lalang disekitaran apartemen pergi menghampiri arah suara berasal.

Sial tidak bisa ditolak, naas sudah jadi nasib, Gulf yang berusaha menghentikan semuanya, namun semua terlambat untuk dihentikan, tanpa bisa menghadang kejadian, hingga akhirnya Mew terjatuh dari gedung apartemen lantai 5 yang jatuh tepat diatas mobil yang terparkir di depan gedung ,hingga menimbulkan suara yang begitu keras dan nyaring.

Cairan merah terus mengalir dari arah atap mobil yang kini rusak karna tertimpa tubuh Mew yang jatuh dengan keras, hingga membuat orang-orang lebih memilih menunggu pihak rumah sakit dan kepolisian untuk mengevakuasi, untuk diselidiki lebih lanjut tentang penyebab semua terjadi.

Sedangkan Gulf hanya terperangah tidak percaya, tubuhnya mendingin dari ujung ke ujung, matanya berkaca, hatinya bergetar, nafas nya seperti sesak sementara, Gulf merasa antara berdiri atau tidak, semua seperti mimpi menyeramkan yang ingin cepat sekali terbangun untuk memastikan jika semua memang benar-benar hanya sebuah mimpi.

Meski dirinya seorang dokter, tapi Gulf tidak bisa melakukan pertolongan pertama sebagaimana layaknya, karna dirinya sudah terlanjur diselimuti rasa takut dan gemetar.

Butuh waktu lima menit hingga akhirnya ambulance dan pihak kepolisian datang, semua tim bergegas menuju arah korban, untuk sesegera mengevakuasi.

Suara sirine, yang dilengkapi kerumunan membuat malam yang tadinya tenang menjadi kacau karna sebuah hal tidak diinginkan terjadi. Orang-orang yang sudah lelap dalam tidurnya, ikut hadir menyaksikan apa yang sedang terjadi.

Malam ini seperti tenang ditikung ramai, bulan yang perlahan menghilang setelah hal itu terjadi, rupanya ia ikut berduka atas apa yang sedang dirasa.

Setelah pasti dimasukan ke dalam ambulance, Mew dipasangkan alat oksigen karna detak jantungnya yang semakin tidak setabil, ditambah perdarahan yang tidak bisa berhenti, membuat Gulf takut bukan main.

"Berikan aku suntikan epinefrin!" Gulf meminta pada petugas yang ada didalam ambulance

Berharap ini dapat menghentikan gagal jantung pada Mew, karna rupanya selain kepala yang terluka parah, dibagian dada juga terdapat kaca yang seperti sengaja ditusuk yang tepat berdekatan dengan posisi jantung.

Gulf berusaha melakukan apa yang ia mampu selama belum sampai di rumah sakit. Setelahnya Gulf berusaha menghentikan pendarahan pada bagian kepala dengan kasa secara tidak beraturan karna gugup yang ia rasa, saat yang menjadi pasien saat ini adalah suaminya.

Gulf terus memastikan jika saluran oksigen untuk Mew berjalan dengan lancar, mengingat kini kondisi jantung nya semakin melemah seiring berjalannya waktu.

Merogok saku celana untuk mengambil ponsel, dan menekan nomor untuk menelepon seseorang...

"Dew kau masih di rumah sakit?"

"Gulf ada apa dengan suaramu? kau baik-baik saja?"

"Aku tidak apa-apa"

"Aku baru mau pulang, kenapa memangnya?"

"Jangan dulu pulang, aku membawa pasien ke sana"

"Pasien?"

"Mew. Mew pasiennya"

"Baiklah bawa dia kesini, kami akan mempersiapkan kamar operasi untuknya"

Kondisi Gulf jauh dari kata baik, wajahnya yang terkena sedikit cipratan darah, hingga bajunya yang sudah tidak lagi bersih terkena darah dari Mew, karna semenjak di dalam ambulance Gulf tidak henti-hentinya melakukan semua yang terbaik untuk Mew.



TBC
.
.
.
.
.

Aku tidak bisa melakukannya

Thalassophile S1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang