Kini sunyi teramat terasa, luasnya rumah bak tempat karsa dan nafas beradu, ada celah yang didiami sembilu, menggurat luka diluar pagar, yang tak akan sembuh dalam waktu sebentar.
Duduk termenung di kursi balkon, menatap duka gelapnya sang jumantara, tak ada satupun kejora terpancar, bersembunyi di balik awan putih yang begitu besar. Tubuhnya seperti melemah, renjana akan seseorang yang baru saja ia tinggalkan, sunyi malam risak akan hati yang butuh hangat kata-kata cinta.
Atas nama penyesalan, ia mencoba bertahan menghindari impresi yang berteman dengan sepi. Sekuatnya ia akan berusaha menghapuskan semua kenangan tentang hari kemarin dan seterusnya, akan berusaha mengusir nya dari kepala, biarpun nantinya sia-sia.
"Ya Tuhan, atur saja bagaimana baiknya. kemarin kemarin aku berusaha mengatur rencana sendiri sampai aku kehilangan diriku yang sebenarnya. dan ketika aku pasrah lalu mengikuti rencana-mu, ternyata benar engkau mengatur semuanya menjadi lebih tenang untuk sesaat. entah apa yang aku dapat kedepannya, baik buruk aku terima" sekarang pasrah saja apa kata tuhan, kedepannya biar Tuhan yang menentukan
"Jika bulan bisa berbicara, maka sampaikan padanya untuk jangan membenciku, meski tau maaf tidak pantas diucapkan atas pilihan yang aku ambil, tapi semua memang karenanya" memandang langit dengan tenang tapi dengan mata sembab teramat buruk untuk dilihat
"Kau tau? akal ku menentang sedangkan hatiku menginginkan, inilah perang yang sulit dimenangkan"
Dalam hidup ada yang pergi untuk kembali, ada pula yang kembali untuk pergi, dan kini Gulf memilih untuk pergi dan tidak kembali.
Tidak selamanya menjauh itu tandanya benci, atau tidak ada lagi rasa sama sekali, tapi kadang menjauh adalah pilihan terkahir untuk menyelamatkan hati yang terus dihantui rasa bersalah karna sesuatu buruk terjadi sebab dirinya.
Tau jika apa yang ia pilih bisa saja membuatnya terkurung dalam sedih berkepanjangan, namun ini jalan terbaik agar semua tetap baik-baik saja.
Setelah dari balkon, Gulf masuk kedalam kamarnya, merebahkan diri diatas ranjang berukuran besar. Dengan lampu yang tidak dinyalakan dan hanya bertemankan terang bulan dari langit yang masuk menembus jendela kamar, Gulf berbaring dengan kedua tangan yang ia simpan di bawah kepala, kini pikirannya teringat akan banyaknya orang yang menjadi korban kegilaan Tay, dan hal ini lah yang membuatnya benar-benar kokoh dengan keputusan dan pilihannya untuk meninggalkan Mew.
Hingga akhirnya Gulf bisa memejamkan matanya setelah butuh waktu lama untuk dirinya tertidur. Semenjak pergi untuk memberikan surat pisah pada Mew, Gulf memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya, dan membiarkan Mew tetap tinggal di hunian mereka yang sempat ditempati bersama.
Gulf seakan memberitahu tentang cinta yang dapat kita pahami meski janggal untuk diterima. Cintailah siapa yang disuka, karena sesungguhnya dirimu akan berpisah dengannya.
Tidak butuh waktu lama untuk surya datang mengganti redup malam agar pergi. Nampak burung asik bergelayut diatas tali aliran listrik yang terbentang, membuat suasana pagi indah untuk disambut, melirik ke arah barat terlihat kirana terpancar sempurna dengan warna yang indah untuk dipandang.
Namun semua keindahan pagi tidak dapat menyaingi ketampanan yang terpampang jelas dalam wajah dewa berwujud manusia. Gulf turun menyusuri tangga, dengan kemeja putih yang ia pakai, sedikit dibagian lengan ia lilit, dan jas biru tua yang ia jinjing ditangan kanan.
"Pagi ibu, ayah"
"Pagi..duduklah, kita sarapan" Gulf mendudukkan diri di kursi
"Gulf, sekarang finalnya, ayah akan legowo apapun keputusan mu, tapi jangan sampai kau menyesalinya untuk kedua kali"
![](https://img.wattpad.com/cover/339430107-288-k18631.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Thalassophile S1
FanfictionGulf kanawut,, seorang dokter spesialis bedah sekaligus anak dari Manager Stasiun televisi swasta. Kejadian empat tahun silam membuat dirinya hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Kekasihnya sekaligus tunangannya dinyatakan ikut menjadi salah satu ko...