Begitu Apo dan Masu keluar, Mile justru bingung harus mengawali dari mana dulu. Mereka adalah kaum remaja dengan pemikiran modern, mana mungkin mudah yakin dengan fakta bodong. Mile pun mengajak keduanya jalan dulu. Setidaknya santai jika sambil berbicara.
"Jadi, tadi ada apa ya?" tanya Apo. "Soalnya aku tidak punya kembaran. Anak tunggal malah. Om mungkin hanya melihat orang yang mirip."
Mile tak bisa melepaskan fokus dari si remaja manis. "Hm, bisa jadi. Tapi aku benar-benar bertemu lelaki yang mirip dirimu 18 tahun lalu."
"Ha?" Masu sampai berhenti menyedot frappe. "Ngayal ya? Om ini aneh-aneh saja."
"Iya, mungkin ngayal. Tapi kalian harus melihat gambaranku dulu," kata Mile sambil membuka ponselnya. "Di hapeku cuma beberapa, tapi di rumah ada lebih banyak dalam buku sketsa. Style-nya realis, kok. Kalian akan melihatnya seperti foto."
"Oh," desah Apo.
"Coba lihat."
"Mana lihat." Masu ikut-ikutan melongok. Apo dan dia menilik koleksi itu. Cuma 6, tapi perkataan Mile benar. Lelaki di dalam gambar persis Apo, bahkan namanya sama. Padahal tanggal jepretannya Apo sudah naik SMA, mustahil mukanya masih seimut itu.
Mile akhirnya menjelaskan dia mulai menggambar sejak SMP, tepatnya saat lelaki dalam gambarannya meninggal. Apo pun menghitung time-lap-nya bertepatan dengan dia lahir. Karena usianya sekarang sudah 17. Hei, jangan bilang ....
"Oke, Bung. Aku tidak ikut-ikutan soal ini. Reinkarnasi itu rasanya bodoh. Kita cuma menemukannya dalam cerita, paham?" kata Masu coba mengingatkan.
Apo maunya juga begitu, tapi rasa penasarannya lebih besar. Apalagi untuk remaja seumurannya. Dia pun bilang ingin melihat gambaran Mile lebih banyak, setidaknya rasa ingin tahu ini harus dipuaskan dulu. "Kalau boleh, sih?" katanya. "Aku baru percaya jika Om punya buku gambarnya."
Ya, bagaimana ya. Coba bayangan saja. Kalau Mile memang berbohong, Apo pikir effort-nya takkan sebesar itu. Apalagi ini gambar loh. Kalau foto mungkin bisa dijepret langsung, jadi Apo bisa coba mengingat kapan dan dimana dia melakukan suatu hal.
"Sungguh? Tapi aku tidak sedang bawa mobil," kata Mile. "I mean, rumahku cukup jauh dari sini. Tadi niat jalan-jalan saja. Mana tahu ada kalian lewat. Aku harus ambil bukunya dulu."
Masu pun menyenggol pinggang Apo. "Sssh, Om-om ini rasanya makin meresahkan, tahu. Jangan lah, Po. Nanti bisa ada apa-apa," bisiknya. "Ayo balik, waktu istirahatnya mepet."
"Ya, terserah Om-nya mau bagaimana," kata Apo. "Besok Minggu sekolahku libur sih. Bisa kok kalau ketemu untuk gambarnya. Tapi sekarang aku masih sekolah."
Mile pun ingin tertawa sangking gemasnya. Remaja ini benar-benar tunas ranum. Dia mungil. Mile rasa tidak boleh merusak kehidupan sekolahnya. "Oke, kalau begitu boleh minta nomormu?" pintanya, lalu segera memperbaiki perkataan. "Ah, bebas kok. Yang tentukan kau saja tempat dan waktunya. Bawa teman lebih banyak pun tidak masalah. Aku tahu aku memang mencurigakan."
Masu langsung memicing mendengar omongan barusan. "Ahli juga, Om-om ini. Aku jadi makin curiga," batinnya. "Ya jelas. Pasti kami bawa banyak teman betulan. Ya kan Po?" katanya. "Karena itu Om nantinya harus jajanin bocah kelaparan--"
"Hush, Masuuu," kata Apo sambil menginjak kaki sahabatnya.
"Apa sih. Ya kan biar lebih aman, Po," kata Masu. "Minimal top-up game lah. Om-om biasanya kan punya uang banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐂𝐇𝐀𝐈𝐍 𝐎𝐅 𝐋𝐎𝐍𝐆𝐋𝐀𝐒𝐓 𝐋𝐎𝐕𝐄 ✅
FanfictionMile merasa hampa dalam menjalani kehidupan, hingga menemukan sosok manis yang mirip dengan pemilik hatinya di masa lalu. Mereka bertemu tanpa sengaja di sekitar Kota Bangkok. Jalinan kisah baru pun dimulai dengan cinta tumbuh seperti bunga bermeka...