"...."
"Aku ingin keliling dunia. Melewati awan. Terus memakai seragam yang bagus. Aku tidak mau banyak makan biar ramping dengan setelan keren impianku. Aku berharap bisa memajang fotonya di kamarku terus pamer kepada Phi Mile dan Papa-Mama. Umn, tapi apa tidak ketinggian? Aku bisa tidak sih Phi jadi sehebat itu?"
Melihat tatapan yang lembut itu, batin Mile pun tersentuh oleh kalimat Apo. Dia bilang, "Ya, tentu bisa. Nanti bisa. Phi senang karena ada jam keluarga jika kau jadi pilot. Kapan-kapan pasti kubukakan jalan. Give me a sec, please? Kau akan pergi ke sana tidak sendiri."
"Sama Phi Mile?" tanya Apo dengan polosnya.
"Iya, sama Phi kalau kau tak kuat lagi. Tapi no, no. Kupikir kau bisa masuk jurusan penerbangan atau angkatan udara tanpa bantuanku. Di sini Phi Mile percaya pada kekuatanmu sendiri, oke?"
Apo pun menekan dadanya yang ditunjuk Mile. "Aku?"
"Iya, Manisnya Phi. Kau bisa."
"Umn."
Jujur Mile ingin mencubit pipi Apo jika tak memakai masker, tapi bocah ini sungguh menjerat jiwa gemasnya. Mile menahan diri sekuat tenaga, dia meremas pinggiran ranjang karena ingin melampiaskan rasa.
"Tapi, sebelum itu aku juga ingin bertanya padamu."
"Iya, Phi?"
"Soal menikah, Po. Ingat tidak Phi ingin menikahimu sesegera mungkin? Aku tidak tenang jika membiarkanmu liar di luar sana, Manis. Phi takut kau kena musibah lebih dari begal, oke Sayang?"
Diserang pujian bertubi-tubi, Apo celingukan karena tak sanggup menatap Mile. "Iya. Tahu."
"Serius? Tahu apa memangnya?"
Bola mata Apo fokus ke pertautan jemari mereka. "Phi Mile ingin aku cepat-cepat jadi istri?" katanya. "Ya ampun, aku paham ya Phi. Kalau Phi sayang padaku, cinta aku, dan lain sebagainya. Teman-teman juga bilang kok kalau Phi sudah usia menikah. Karena itu aku menerima cincin dari Phi."
Entah kenapa Mile bangga pola pikir Apo naik sedikit. Setidaknya ini lebih memudahkan, walau tetap jengkel karena Apo mudah menangis. Dalam hal kecil pun si manis ini lembut hatinya. Bahkan hanya karena hal yang harusnya bukan masalah. "Apo, jangan begini, Sayang. Phi kan cuma mau mengajak bicara. Lihat sini?" Mile mengusapi pipi Apo dengan tisu, walau itu membuat maskernya meleleh ke sapu tangan. "Nah, jadinya lembek dan retak lagi kan? Dasar."
"Iya, tapi Phi-nya bagaimana?" isak Apo. "Nanti kalau sudah tua aku malah ingin kabur? Takuuuuuut. Phi kenapa tua sekali? Aku benci kalau sampai melihat uban di rambut Phi Mile duluan. Sudah kebayang, tahu. Huhu. Aku berharap Phi sehat terus dan jaga diri ...."
Mile pun beranjak duduk di sisi Apo, lalu mendekat perlahan. Dia mendekap si manis mungil, walau Apo mendorong dadanya karena tidak mau mengotori long-coat dengan masker leleh. Suasana kamar random sekali. Mile pun membiarkan Apo terisak. Lalu pamit cuci muka sebelum kembali. Usai mengeringkan muka dengan handuk baru kelihatan matanya merah. Langkahnya kikuk karena Mile minta dia duduk di pangkuan.
"Tidak mau," kata Apo sambil meremas piama.
"Sayang," panggil Mile dengan nada lembut. Lelaki itu menepuk pahanya, ragu-ragu Apo pun mendekat ke sana. "Sini. Phi Mile mau bicara lebih detail soal impianmu. Bagaimana?"
"Seriusan, Phi?"
"Iya lah. Biar kau paham gambaran kalau mau sekolah penerbangan nanti."
Apo pun duduk di pangkuan Mile dengan kaki seperti membonceng sepeda, pinggul rampingnya dipeluk sang calon suami. Apo kegelian, tapi dia tahan-tahan. Muka meronanya terlihat karena Mile hanya butuh satu lengan untuk melingkari. Si manis mendengarkan penjelasan Mile, tidak lupa sambil searching informasi di Google. Apo tak menyangka ternyata sekolah penerbangan singkat, ini tak seperti kau kuliah S1 yang butuh waktu 4 tahun. Mungkin kau hanya butuh 6-7 bulan, itu pun bisa langsung tes trek di lapangan mengemudi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐂𝐇𝐀𝐈𝐍 𝐎𝐅 𝐋𝐎𝐍𝐆𝐋𝐀𝐒𝐓 𝐋𝐎𝐕𝐄 ✅
FanfictionMile merasa hampa dalam menjalani kehidupan, hingga menemukan sosok manis yang mirip dengan pemilik hatinya di masa lalu. Mereka bertemu tanpa sengaja di sekitar Kota Bangkok. Jalinan kisah baru pun dimulai dengan cinta tumbuh seperti bunga bermeka...