G. Imbalan

921 81 21
                                    

15.30 WiB
Senin

Berkutat dengan laptop nyaris sepanjang waktu.
Menggulir berbagai aplikasi, program, menyingkronkan dengan ponselnya.
Berputar kembali, selalu saja seperti itu.

Membosankan.
Tapi juga menantang di saat yang bersamaan.
Definisi hidup yang membosankan, kata Andra, namun ia sukarela melakukannya.
Sebagian mimpi sudah berhasil ia raih.
Namun seolah tak pernah cukup, ia masih tak puas.
Selalu ada gelenyar ide di kepalanya meminta untuk diwujudkan.

Membunuh waktu seolah bukan hal yang sulit baginya. Bahkan dahaga untuk meminta lebih dari 24/7 jikalau ia bisa.

Tak peduli bahwa wajah yang sedikit tak terawat dengan mata panda membayang, kumis dan jenggot yang mulai tumbuh tak teratur.
Sebenarnya tidak membuatnya kontan menjadi sosok yang menakutkan.
Andra tetap rupawan dengan fisik yang nyaris sempurna.

Tubuh menjulang dengan proporsi yang pas dengan berat badannya.
Wajah blasteran dengan frame tegas di rahang, nyaris tak bercela.
Kulit putih dengan mata coklat, hidung yang jelas seperti prosotan kolam renang, bibir ideal yang selalu menjadi pusat perhatian kaum hawa.

Seperti saat ini saat ia membalas sebuah pesan yang masuk, membahas janji temu.
Besok malam, di suatu resto Jepang di Mall tengah kota.
Sebuah senyum terpendar, tipis namun tak urung membuat moodnya membaik.
Setelah itu Andra kembali asyik mencari inspirasi untuk desain berikutnya.

***************

16.30 WIB
Selasa

Tasya mematut diri di depan kaca.
Berulang kali, ia berganti busana, memadu padan berikut kerudung.
Merasa kurang puas, ia pun kembali mengganti style.

" Isshh.. gini deh kalau ga ada Billa." gerutu resahnya.
Ya, biasanya Syibilla yang membantunya memadu padan busana yang akan ia pakai. Adik kecil satu itu memang tak pernah gagal untuk membuat dirinya percaya diri.
Selera fashionnya selalu up to date, walaupun dengan stok pakaian yang sederhana.

" Gue telpon aja tuh bocah. " senyuman Tasya terbit, lantas menyambar smartphonenya. Menggulir layar, mencari sebuah menu untuk saling berkabar dengan video alias video call.

Beberapa kali nada dering terdengar. Tasya berharap Syibilla tidak sedang keluar rumah dan meninggalkan ponselnya. Karena bocah satu itu sering kali melakukannya.

Sebuah dering terakhir yang tak sampai tuntas lalu beralih dengan gambar seorang gadis dengan wajah polos dan kerudung pasmina yang melilit kontan membuat Tasya melebarkan senyum.

" Assalamu'alaykum Dek.. " sapanya pada Syibilla di seberang sana.

" Wa'alaykumussalam Kakak kuuuhh.. kangen iihh " balas Syibilla dengan ekspresi sok imut

" Balik gih.. cepetan..kangen banget akuu.. sepi nih disini " ajak Tasya serius.
Syibilla tersenyum lebar.

" Tungguin aja, gak lama lagi juga balik kak. "

" Aku jemput ya " tawar Tasya

" Gak usah lah, Kak. Aku udah pesan tiket kereta api. Kangen naik kereta. "

" Ya udah kapan? Nanti aku jemput di stasiun. "

" Nanti aku kabarin lagi ya" Syibilla terkekeh sok misterius, " eh.. ngomong² kenapa tadi kak nelpon. Pake VC pula " sambung Syibilla

Tasya terkekeh lalu menggaruk lehernya,
" Dek bantuin dong, pilihin baju. Kayak biasanya. " Tasya meringis lalu menunjukkan tanda peace dsri jemari telunjuk dan tengahnya bangkit dari bangku riasnya.
Ia bangkit dari kursi riasnya, menuju bed yang penuh dengan pakaian berserakan.
Mengambil beberapa potong atasan juga beberapa bawahan.
Menunjukkan ke arah kamera, meminta pendapat melalui layar ponselnya.

Those Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang