V. Melepaskan Rasa

1K 153 51
                                    


" Kak! Astaga.. kakak... " Syibilla menjatuhkan tubuhnya tepat di sebelah Tasya yang terbaring lemas di atas kasurnya.
Meraih telapak tangan yang terasa hangat itu dan ditempelkan ke pipinya.

" Kakak kenapa Ante? Kok sampai gini.. " Syibilla kembali menatap prihatin ke Tasya yang masih terpejam lelap.
Bertanya pada Tante Diva yang baru saja mengganti kompres di dahi Tasya.

" Kecapekan aja dia. Kayaknya beberapa hari dia begadang kerjain tugas seminar. " urai Tante Diva dengan senyum yang tak pernah tertinggal untuk Syibilla. Ia mengusap sayang kepala Tasya.

" Ante.. emang kakak mau kemana tadi? Bajunya kelihatan ini baju pergi. " Syibilla mengamati tampilan Tasya.

Tante Diva mengendik, " Ga tau Bill, tadi belum sempat dia bilang mau kemana. Tau² oleng di tangga. Untung aja sudah sampai bawah. Kalau masih di atas bisa² fatal jatuhnya. " mengerjap memandangi Tasya, menghembuskan nafas lega.

" Kamu makan dulu sayang. Jangan telat, nanti asam lambungmu pesta. Ga pengen kan tepar kayak kakak? " goda Tante Diva

" Issh Ante.. malah doain. Tapi aku mau temenin kakak. " syibilla merajuk, merrbahkan tubuh di sisi Tasya.

" Boleh, tapi nanti ya abis makan. Hayuk ante temenin. " Tante Diva mengulurkan tangannya ke arah Syibilla yang disambut hangat gadis itu dengan cerianya.

Suara kenop pintu tertutup baru saja terdengar, seiring dengan Tasya membuka perlahan kedua matanya.
Menatap cahaya jingga yang membias dari jendela kamarnya.
Senja telah hadir bahkan akan segera berlalu.
Lelehan air matanya mengalir kembali saat melihat penunjuk waktu digital di dekat jendela.
Sudah 2 jam dari waktu yang ditentukan.

Ia telah pergi.
Meninggalkannya.
Tanpa sempat Tasya temui, seperti yang ia inginkan.
Raganya seolah mengkhianati hati.

" Selamat jalan.. maaf... " gumam Tasya pedih dengan isakan tertahan di atas bantal empuknya.
Berusaha memejamkan mata untuk menghentikan aliran deras yang entah sudah tertumpuk beberapa lama, walau seperti sia².
Tangannya meremas dada kiri yang berdenyut nyeri. Sesekali memukul kasur untuk melampiaskan semua.
Meringkuk di balik hawa dingin yang menyapu tubuhnya di balik selimut.
Ternyata menjadi munafik harus sesakit ini.

--------

Waktu terus berjalan, tak pernah melangkah ke belakang kembali.
Menit beralih ke jam, berpindah ke hari, menyusun sebuah pekan.

Syibilla hanya bisa memandang pintu kamar yang tertutup itu.
Sudah beberapa pekan setelah Tasya pingsan di sore itu, ia tak lagi melihat tawa riang dan binar wajah ceria sang kakak.
Senyuman palsu dan tatapan kosong yang coba dikamuflasekan dengan cantik pun terasa janggal di hati Syibilla.
Beberapa kali pun ia sempat memergoki Tasya menangis dalam kesendiriannya.
Setiap ia tanya, jawabannya hanya lelah dengan project seminar dan tugas akhir yang tengah ia garap.

Tidak.
Syibilla tak akan percaya begitu saja.
Tasya pun serasa tak mudah digapai.
Gadis itu menyembunyikan sesuatu yang Syibilla tak tahu, dan ia benci itu.
Kemana kakaknya yang ceria selama ini.
Yang selalu ada saat ia butuh.
Yang selalu setia mendengarkan curhatnya hingga pagi.
Menyimpulkan sesuatu yang mengerucut, Syibilla merasa ada peran dirinya yang membuat Tasya menjadi seperti sekarang ini.

Menghembuskan nafas kasarnya, sekali sebelum melangkah mendekat pintu berwarna putih dengan beberapa ornamen juga cetakan polaroid yang tertempel.
Perlahan mengangkat tangannya lalu mengetuk pintu.
Belum ada jawaban.
Diulangnya ketukan itu hingga beberapa kali.
Hasilnya pun sama.

Memutar gagang pun akhirnya ia lakukan.
Ini bukan kebiasaan mereka.
Dahulu dengan santainya ia pun tak perlu repot seperti ini untuk masuk ke kamar Tasya.
Buat Syibilla, kamar ini adalah kamar keduanya.
Tak ada sungkan yang membalut seperti saat ini, saat semua berjalan tak sama.

Those Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang