Q. Senandung Realita

1.1K 130 50
                                        


Novia melipat tangannya di depan dada. Matanya menatap lekat gadis di depannya yang serius menelisik layar macbook di meja.
Dua buah gelas berisi es teh sudah nyaris tandas. Siang ini rasanya Tuhan sedang murka, hingga aura panas neraka pun dihembuskan ke bumi.

" Ga usah lah kau pura2 sibuk, Sya. Bosan aku lihatnya. " sengit Novia yang tak digubris Tasya.
Gadis itu masih asyik berselancar di dunianya sendiri. Tanpa mau ambil pusing pada omelan Novia.

" Munafik kau, Sya! "

Kali ini, Novia tersenyum mencibir, karena akhirnya Tasya menatapnya. Walaupun dengan tatapan sengit dan tajam.
Mungkin apabila dibuat reka adegan dengan backsound " Bombastic side eyes, criminal offensive side eyes. " akan terasa lebih meyakinkan.

" Apa sih Piak! " seru Tasya tertahan.

" Ga terima kan kau? Tapi itulah nyatanya. Munafik. "

" Piak!! diem gak lu! "

"Kau tuh yang diam! pikir lah sendiri nona! Di mulut kau bilang tak cinta dia, nyatanya mana. Tadi pas aku bilang dia jalan sama Nadya, mukamu sudah kayak terminal bus.. ruwet! Keruh! " cibir Novia tak mau kalah.

Tasya menghela nafas, berusaha menurunkan emosi. Bagaimanapun ini tempat umum. Sahabatnya ini benar² membuatnya uji nyali.

" Apaan sih? Cakap apa lo tuh? Pake bawa² terminal juga kemari. " gumam Tasya.

Novia menggebrak mejanya kali ini. Tidak kencang tapi cukup membuat Tasya terkejut dan memberinya tatapan siap membunuh.

" Kalau kau masih terus aja kepala batu. Jangan minta tolong lagi sama aku ya, kalau kau ada apa² sama dia. " Novia mengintimidasi, " Jangan mewek kau.. kalau suatu waktu dia bakal ninggalin dan ga akan mau kembali lagi meski kau menangis darah. " lanjutnya kembali, masih dengan intonasi perlahan namun mematikan.

" Piak! Stop! " ancam Tasya kali ini.
Kepalanya sudah cukup pusing dengan bimbingan sempro nya tadi yang ternyata masih ada beberapa hal yang mesti  dibenahi. Sekarang sahabatnya  membuat moodnya makin berantakan dengan mengingatkan kembali pada kejadian pagi tadi.

" Apa susahnya jujur, Sya? Toh dia juga punya rasa yang sama dengan kau. Coba pikir, selama ini apa saja yang sudah dia korbankan untuk kau. Kalau jadi kau, aku sudah meleleh di hadapan dia."

" Mesti jujur macam mana lagi sih, Piak. " Tasya mengurut dahi, lalu membetulkan frame kacamatanya, " gue udah bilang semuanya. Coba jelasin gue mesti ngomong macam mana? "

" Ini nih.. ini.. yang paling aku tak suka dari kau. Kamuflase! Jangan pikir aku tak tahu apa yang sudah kalian lewati sejak dulu. Walaupun kau saat itu masih jadi pacar Andra, tapi hatimu untuk siapa, Sya? " Novia menebar senyuman miringnya.

" Piak! Lo pikir gue selingkuh? "

" Mana kutahu. Yang paham itu kau sendiri! "

" Udah Piak. Gue mending pulang. Pusing dengerin ocehan lu kayak mamak² di tanggal tua. Ga jelas! " Tasya segera membereskan barang2nya. Meneyeruput tandas minumannya.

" Anterin gue sekalian! " seloroh Novia

" Idih! Abis ngomel, minta anterin juga. Asli lo udah kayak mak² julid tau gak. "

" oh gitu... oke, kau mulai pelit rupanya. " dengus Novia. Ia berdiri dari bangku kantin, memilih untuk segera berlalu.

" Iye iyeee.. gue anterin. Ah gitu aja ambekan! " ucapan Tasya yang membuat Novia tersenyum penuh kemenangan.

Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju parkiran.
Debat dan argumentasi panas, kerap terjadi pada sepasang sahabat ini. Namun kepala dingin tetap menjadi pemersatu mereka.

Those Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang