U. Antara

967 115 22
                                    


Syibilla mengerjapkan matanya, saat gurat² cahaya kekuningan samar merasuki retinanya.
Ia pun meregangkan tubuh yang masih enggan jauh² dari peraduan.
Meraih ponsel yang ia letakkan di meja nahkas semalam saat sebelum memejamkan matanya. Membaca deret angka penunjuk waktu digital yang ada di layar depan ponsel pintar itu.

Pukul 02.10
Masih jauh dari waktu subuh.
Sudah malam ke berapa, ia terbangun di kisaran waktu yang sama.
Terbangun saat mimpinya mengisahkan hal yang serupa.
Masih terngiang sebuah suara lembut memanggil namanya berulang kali.
Setiap ia akan melihat sumber suara itu, kembali terjagalah Syibilla hingga menyisakan bongkah penasaran yang membuatnya kesal.

Ingatannya terus membongkar tentang suara siapakah yang menerornya walau dalam mimpi. Tak juga ia temukan kecocokannya.
Namun kata hatinya berkata, ia pernah mengenal dan mendengar suara² itu.
Entah kapan dan dimana, serta siapa.

Menghela nafas lalu menghembuskan kembali perlahan sembari merapal kalimat² terbaik yang mengingatkannya pada Rabb alam semesta ini.
Memutuskan untuk melangkah turun ke area pantry, walaupun hari masih gelap.
Sayup² rintik gerimis terdengar dari luar sana. Rupanya bumi masih dahaga dengan tangisan mega yang terus tercurah sejak semalam.

Cahaya terang terbias dari ruang kecil tempat sebagian besar keluarga ini sering bertukar cerita sambil mengisi amunisi tubuh.
Terdengar langkah² kecil dari ruangan itu, Syibilla melongok dari trap tangga yang sebentar lagi menghantarkannya ke lantai dasar.

" Ante.. udah bangun? " Syibilla menyapa sosok perempuan yang membelakanginya itu.
Masih menggunakan daster panjang bercorak bunga2 kecil berwarna pastel.
Perempuan itu menoleh, setelah tersentak di awal Syibilla menyapanya.

" Hey.. gadis kecil! Tumben udah bangun. " sapanya lalu menghampiri Syibilla dan mengusap kepala gadis itu. " Klo ante sih tiap hari juga bangun jam segini walaupun sering di kamar aja sih. " jelasnya kemudian pqda Syibilla yang mengangguk lalu mengambil sebuah pear yang tersaji diatas meja pantry.

" Kamu sendiri tumben udah turun. Kepanasan? AC nya kenapa sayang? Kalau trouble nanti biar diservice. " celoteh khawatir mama Tasya yang disapa dengan ante oleh Syibilla sebagai panggilan sayang.

" Nggak Te, bukan AC nya. Emang kebangun aja. Susah merem lagi, mau buka laptop juga malas. Ya mending turun aja. " ringisan bocah nyaris 19 tahun itu sambil bercerita membuat Mama Tasya membulatkan bibirnya sambil mengangguk.
Syibilla mengupas kulit buah berbentuk seperti bel dan berwarna hijau itu. Mengirisnya perlahan lalu membaginya menjadi beberapa potong di atas sebuah piring kecil.

Matanya menatap Mama Tasya yang sibuk menyiapkan beberapa bahan untuk dijadikan santapan pagi ini. Tangannya begitu cekatan mengupas dan mengiris juga memilah bahan ke dalam beberapa mangkok. Sebagai nyonya rumah di keluarga ini, bisa saja beliau tinggal perintah pada Bik Inah yang sudah hafal luar kepala kebiasaan keluarga. Namun wanita itu selalu ingin mengambil perannya sebagai ibu dan istri yang baik ketika di rumah. Sebuah teladan yang mengagumkan untuk Syibilla.

" Hayoo.. nglamun.. mikir apa anak cantik? " Syibilla sedikit tersentak saat tiba² Tante Diva berada di seberang kursinya, hanya berbatas meja pantry. Senyuman itu menular padanya seketika.

" Ah ..enggak Ante.. gak nglamun kok. " elak Syibilla kikuk lalu menutupnya dengan senyuman lebar khas gadis itu.

" mikirin cowok ya ? " goda tante Diva lagi yang spontan membuat Syibilla membelalak.

" Hihh.. Ante.. cowok apa? " Syibilla berseloroh

Tante Diva tersenyum lebar melihat semburat merah tersamar dari pipi Syibilla.
" gadis cantik macem kamu ini mana mungkin ga ada yang deketin. Hayo siapa dia.. cerita dong.. kakak tingkat? Ketua Hima ? atau Ketua BEM mungkin? " semangat 45 tante Diva menggoda keponakan tercintanya itu yang makin terperangah.

Those Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang