H. Bertemu

935 101 15
                                    

07.35 WIB

Tasya mendesah.
Menatap layar termometer digital di genggamannya.
Menunjukkan angka krusial.
' 38, 4 ° C '

Pantas saja badannya serasa remuk pagi ini. Seluruh sendi rasanya seperti patah berkeping.
Namun ia pun sadar, ini salahnya sendiri.

Semalam setelah sampai di rumah, Tasya merenung hingga nyaris tengah malam.
Mematikan ponselnya.
Karena tak ingin terganggu apapun dari benda pipih itu.
Ia hanya ingin menyendiri, bermonolog dengan hatinya yang kacau.
Ditemani secangkir teh melati hangat favoritnya.
Berharap kantuk segera menemui dan membiusnya ke alam mimpi.

Bukannya memejamkan mata di atas ranjang setelah itu, ia justru memilih berendam di bath-up.
Hingga tertidur beberapa lama.
Air yang tadinya hangat pun menjadi dingin.

Inilah hasilnya.
Demam dengan disertai bersin² sepanjang pagi ini.
Untung saja tak ada giat yang harus ia kerjakan dalam waktu dekat.
Ia butuh mengistirahatkan raga juga jiwanya.

Sebuah ketukan di pintu kamar terdengar.
Lamat2 suara Bik Inah sampai ke telinganya.

" Masuk Bik! " teriak Tasya sedikit parau.
Kembali bergelung didalam selimut diatas ranjang.

Langkah Bik Inah terdengar, juga suara piring porcelain dan gelas yang bersentuhan.
Bisa ditebak, perempuan yang setia bekerja untuk keluarganya itu membawakannya sarapan.
Meletakkan di meja nakas di sisi ranjang.

Bik Inah pun membuka korden di jendela besar kamar Tasya.
Kemilau cahaya mentari memasuki ruangan itu pun sedikit menyilaukan pandang.
Gadis itu melenguh.

" Mba, makan dulu ya. Bibik suapin mau? " tawar Bik Inah sambil mengelus lengan Tasya lembut.
Gadis itu menggeleng.

"Gak laper Bik. "

" Mba Tasya harus makan, nanti minum obatnya juga. Kalau gak mau nanti Mama pulang terus ngomel² lho mbak. " bujuk Bik Inah lagi.

Mama?
Ah sudah lama Tasya tak bertemu sosok itu. Ya..sudah beberapa lama.
Sejak kecil ia sudah terbiasa ditinggal dengan pengasuh dan Bik Inah.

Orang tuanya terlalu sibuk mengurus bisnis keluarga yang diwariskan sang kakek. Selain memang tak ada tenaga yang cakap dan mampu di keluarga besar, pengalaman sudah membuktikan kepiawaian Papa Tasya dalam menjalankan bisnis turun temurun ini.

Sebuah pengorbanan ketika harus melewatkan waktu bersama putri tunggal mereka, Tasya.

Maka dari sanalah pribadi Tasya terbentuk. Mandiri dan kuat.
Kuat?
Atau sok kuat?

Ah entahlah.
Di saat seperti ini, Tasya sangat merindukan sang mama.
Tapi membebaninya dengan aduan dirinya yang terkapar lemah begini pasti akan memecah konsentrasi orang tuanya di negeri orang.

" Bik Inah ga usah ember ya. Ga usah kasih tau mama kalau aku sakit. " gumam Tasya, sambil memejamkan matanya.

" Makanya ayo makan dulu. Itu bubur ayam buatan bibik sudah hampir dingin lho. Mubazir nanti. "

Akhirnya dengan bujukan itu pun Tasya luluh. Hampir setengah porsi ia santap, di tengah deraan sakit di kepala dan seluruh tubuhnya.
Tak lupa menelan obat yang sudah disiapkan Bik Inah.

Tasya mencari ponselnya, setelah semalam ia matikan.
Ia sudah siap bila suara notifikasi akan bersahutan saat benda itu sudah kembali menyala.

Benar saja.
45 panggilan tak terjawab
120 pesan belum terbaca

Apa²an ini.
Ia memicingkan mata minusnya, menggulir layar mencari pesan mana yang ingin dibukanya.
4 nama kontak yang menarik perhatiannya.
Selain pesan dari beberapa grup yang ia acuhkan.

Those Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang